Sabtu, 22 Januari 2011

HIKMAH MUTA'ALIYAH MULLA SADRA

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, irfan teoritis dan teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta'aliyah.

Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tidak mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut, disamping itu aliran baru ini juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, karena itu tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara agama dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang sistimatis dan logis atas doktrin-doktrin agama tersebut.

Trancendent theoshopy (al-Hikmah al-Muta'aliyah) adalah sejenis hikmah atau falsafah yang dilandasi oleh fondasi metafisika yang murni, yang diperoleh melalui intuisi intelektual, dan diformulasikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang rasional dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syari’at.

 

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah biografi dari Mulla Sadra?
  2. Bagaimanakah konsep hikmah muta’aliyah Mulla Sadra?

C. Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui bagaimanakah biografi dari Mulla Sadra.

2.      Untuk mengetahui bagaimanakah konsep hikmah muta’aliyah Mulla Sadra.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Biografi Mulla Shadra (1571-1640 M.)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.[1]

Pada sumber-sumber tradisional, tahun kelahirannya tidak ditetapkan, dan baru diketahui kemudian ketikan `Alamah Sayyid Muhammad Hussein Tabataba`i melakukan kereksi terhadap edisi baru al-Hikmah al-Muta`aliyah dan mempersiapkan penerbitannya. Pada catatan pinggir yang ditulis oleh pengarangnya sendiri, ketika ia membicarakan tentang kesatuan antara subyek yang berpikir dan obyek pemikirannya (dalam istilah filosofisnya dikenal sebagai ittihad al-`aqil bi al-ma`qul), ditemukan kalimat sebagai berikut: “Aku memperoleh inspirasi ini pada saat matahari terbit di hari Jum`at, tanggal 7 Jumadi al-Ula tahun 1037 (bertepatan dengan 14 januari 1628), ketika usiaku telah mencapai 58 tahun”.[2]

Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-Farabi).[3]  Tampkanya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini,  pengetahuan yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktek asketis -sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah).[4]   

Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah haji yang ketujuh kalinya.[5]

Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina),  Risalah al-Mazaj (tentang psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik).[6]  

B.     Konsep Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Mulla Sadra

Para filosof muslim berbeda pendapat dalam menjelaskan konsep al-hikmah yang banyak tertera dalam al-Qur’an atau hadis. Berbagai pandangan mengenai pemaknaan terhadap istilah hikmah menemukan konsep puncaknya melalui sentesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra, yang dinamakan dengan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Penyebutan al-Hikmah al-Muta'aliyah sebagai aliran filsafat Mulla Shadra diperkenalkan pertama kali oleh salah seorang murid dan sekaligus menantunya yang bernama ‘Abd Al-Razzâq Lahiji (w. 1072 H/1661 M).

Untuk mengetahui pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra al-Hikmah al-Muta'aliyah harus dilihat bagaimana dia mendefinisikan istilah hikmah atau falsafah. Menurutnya, kedua istilah tersebut adalah identik, dan ketika ia berbicara tentang hikmah atau falsafah dalam perspektifnya sendiri, maka yang dimaksudkan tidak lain adalah al-Hikmah al-Muta'aliyah. Setelah melakukan sintesis terhadap berbagai pandangan terdahulu, Mulla Shadra mendefinisikan falsafah sebagai:

استكمال النفس الانسانية بمعرفة حقائق الموجودات على ما هي عليها والحكم بموجودات تحقيقا بالبراهين لا أخدا بالظن والتقليد بقدر الوسع الإنساني وان شئت قلت نظم العالم نظما عقليا على حسب الطاقة البشرية ليحصل التشبه بالباري تعالى[7]

“Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangunkan berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar sangkaan dan sekedar mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”

 

Berdasarkan pengertian hikmah di atas, bisa dilihat bagaimana Mulla Shadra berusaha mengkombinasikan dan mengharmoniskan berbagai pandangan  terdahulu dengan pandangannya sendiri, melalui kreatifitas serta kejeniusan berpikirnya.

al-Hikmah al-Muta'aliyah epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal), dan syari’at. Sehingga hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argument-argumen rasional. Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dicapai dengan mengikuti syari’at. Sementara itu,  dari sisi ontologis, al-Hikmah al-Muta'aliyah didasarkan atas tiga hal: Prinsip Wujud, gradasi wujud, dan gerak subtansial. [8] 

Dalam mazhab Isfahan, Mulla Shadra tercatat sebagai tokoh, filosof yang sangat tersohor, kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam menguasai  ringkasan pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam rentang waktu 900 tahun dengan pendekatan sintesis akhir berbagai mazhab filsafat dan teologi Islam (kalam). Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapaan-ucapan para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif, kalam sunni dan syi’i serta mazhab gnosis, Mulla Shadramembuat sistesis secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal dengna teosofi transedenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Mulla Shadramerasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual (‘Aql) dan visi batin atau pencerahan (kasyf). Dia berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’ sehingga manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut.[9]

C.     Sumber-Sumber  Pemikiran al-Hikmah al- Muta’aliyah Mulla Sadra

Sebagai sebuah konstruksi pemikiran, al-Hikmah al-Muta’aliyah tentu saja tidak dibangun berdasarkan hasil kreasi individualistik Mulla Shadra semata, tetapi bersumber pada bahan dan unsur yang telah tersedia sebelumnya, baik yang bersifat tradisional maupun historis. Akan tetapi, tidak bisa disimpulkan secara sederhana bahwa visi intelektual yang diformulasikan oleh Mulla Shadra ini sekedar merupakan penggabungan dari berbagai ide dan pemikiran yang mendahuluinya.[10]

Menurut Jalaludin Rahmat, Sadra mengambil filsafat pra-Sokrates hingga berbagai pikiran yang hidup pada zamannya. Namun, hanya ada tiga pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi pondasi bagi sistem pamikiran Mulla Shadra. Pertama, pemikiran Ibnu Sina (980-1037 M). Ajaran Ibnu Sina menjadi pondasi bagi seluruh pembahasan filsafat Shadra, sehingga semua persoalan selalu diawali dengan apa yang dikatakan al-Syaikh al-Rais (guru kepala), gelar bagi Ibnu Sina. Ia juga mengambil pendapat-pendapat Ibnu Sina untuk mendukung konsep-kosepnya sendiri, seperti soal realitas wujud dan kelemahan esensi . Namun, Sadra juga mengkritik dan memodifikasi filsafat Ibnu Sina. Menurut Rahmat, kritik Shadra yang paling keras terhadap Ibnu Sina adalah dalam soal epistemologi, yakni ketika Ibnu Sina menolak kesatuan absolut antara subyek dan objek yang diketahui.[11]

Kedua, pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153-1191 M). Meski dalam beberapa bagian Shadra mengkritik dan menolak ajaran Suhrawardi, tetapi pemikiran tokoh ini memberi bentuk bagi pemikiran Sahdra yang khas. Pendangan Suhrawardi bahwa esensi  bukan realitas diambil Sadra dengan doktrinnya tentang ashal al-wujud (principiality of being) bahwa yang pokok dalam realitas adalah eksistensi, bukan esensi . Esensi  adalah sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan realitas yang sebenarnya. Sementara itu, gagasan Suhrawardi tentang “jenjang cahaya” mengilhami Shadra untuk memunculkan gagasannya tentang tasykik al-wujud (garadation of being), bahwa meski realitas itu tunggal tetapi muncul dalam berbagai tingkat intensitas dan manifestasi.[12]

Ketiga, pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240). Yang diambil Shadra dalam tokoh ini adalah soal tiga isu penting filsafat Islam, non-wujudnya esensi , realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran eskatologi-psikologis alam citra. Gagasan tentang non-wujudnya esensi  diambil untuk mendukung gagasannya bahwa eksistensi adalah realitas satu-satunya dan ia bukan esensi . Realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran eskatologis-psikologis alam citra. Gagasan tentang non-wujudnya esensi  diambil untuk mendukung gagasannya bahwa eksestensi adalah realitas satu-satunya dan ia bukan esensi . Doktrin tentang realitas sifat-sifat Tuhan digunakan untuk melahirkan gagasannya tentang ‘kesatuan wujud wujud yang menyingkapkan diri’, sedangkan ajaran ‘alam citra’ dipakai untuk membuktikan ajaran kebangkitan jasmani seperti yang diyakini oleh sebagian kaum teolog.[13]

Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shdra dibangun di atas pondasi Ibn Sina, dibentuk dengan sistem Suhrawardi dan dikaji berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan oleh Ibnu Arabi. Filsafat Mulla Shadra bukan sekedar penyatuan dari aliran-aliran utama, bukan kompromi atau rekonsiliasi permukaan, tapi merupakan sintesa sejati yang didasarkan atas sebuah prinsip filsafat penting yang baru pertama kali diuraikan dalam sejarah filsafat Islam. Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tak mampu diselesaikan oleh aliran filsafat dan teologi.

D. Filsafat Mulla Sadra

  1. Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)

Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah).[14]

Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.[15]

Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi  dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi  ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi  tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya.[16]

Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi  lebih fundamental dari esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi  yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.

Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Sadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap esensi  atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi  dengan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi  adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan.[17]

Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.[18]

Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.[19]

Pandangan Shadra diatas, bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi, membedakan Shadra denga peripatetik muslim yang menyatakan bahwa benda-benda konkrit tersusun atas esensi  dan eksistensi yang masing-masing mempunyai realitas yang terpisah. Pandangan tersebut juga membedakan Sadra dengan Suhrawardi yang meyakini esensi  sebagai realitas dan eksistensi sebagai abstraksi. Mulla Shadra mengadopsi prinsip ini dari irfan teoritis dan menjabarkannya secara filosofis kemudian meletakkannya sebagai pondasi filsafatnya.

  1. Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)           

Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik.[20]

Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta'aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.

Pandangan gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi tentang garadasi cahaya, tetapi Shadra mengubah prinsip tersebut secara mendasar. Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan pada esensi  seperti pada Suhrawardi tetapi pada eksistensi, sebab bagi Sadra, eksistensilah realitas asli satu-satunya. Kedua, bahwa eksistensi tidak hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi yang sistematis, sebab kenyataanya wujud tidak statis melainkan bergerak terus-menerus. Gerakan ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang umum, lebih tidak menetu dan tingkatan-tingkatan yang lebih menyebar kepada bentuk-bentuk eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan lebih menyatu. Setiap model eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai genus atau materi kemudian tertelan kedalam kekonkritan bentuk sesudahnya yang bertindak sebagai diferensia atau bentuk. Daya dorong, gerak universal ini adalah ‘isyq (cinta kosmis) yang mendorong segala sesuatu bergerak kea rah yang lebih konkrit. Karena itu, gerak dari yang kurang sempurna ke arah yang lebih sempurna ini tidak bisa dibalik, karena eksistensi memang tidak pernah bergerak kebelakang.[21]

Dalam ungkapan lain, gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.

3. Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)

Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla Shadraterhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus.[22]

 Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.[23]

Mulla Shadraberpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya.[24]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar jelas Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada.

Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya.

Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: iluminasi intelektual ( dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional ( ‘aql atau istidlal ), dan agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Nur, Syaifan. 2001. Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muntahari, Murtdha. 2002. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, Bandung: Mizan.

 

Sholeh, A. Khodhori. 2004. Wacana Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyah, Juz I, hlm. 21 dalam  Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Rahmat, Jaluddin. 2001. Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, pengantar dalam Kearifan Puncak., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Tafsir, Ahmad. 1993. Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. III.Bandung : Remaja Rosdakarya.

 

Ha’iri yazdi, Mehdi 1994. Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad Bandung : Mizan.

 

Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah.

 

Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, Bandung: Pustaka

 

Riadi, Haris Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010)

 

Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan, Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj

 

 



[1] Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41-42

[2] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 42

[3] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 14

[4] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 14

[5] A. Khodhori Sholeh, Wacana Baru Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 158

[6] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 159

[7] Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyah, Juz I, hlm. 21 dalam  Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 143

[8] Jaluddin Rahmat., Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, pengantar dalam Kearifan Puncak., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. xv

[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. Iii (Bandung : Remaja Rosdakarya,1993), hlm: 192

[10] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 106

[11] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 160

[12] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 160-161

[13] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 161

[14] Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 51

[15] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 80

[16] Husain Nashr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung: Risalah, 1986), hlm. 22-25

[17] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 3

[18] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 181-182

[19] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 182

[20] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 164

[21] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra..., hlm. 6-7

[22] Haris Riadi, Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010)

[23] Haris Riadi, Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah..,

[24] Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan (Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj), hlm.63.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar