Sabtu, 22 Januari 2011

HIKMAH MUTA'ALIYAH MULLA SADRA

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, irfan teoritis dan teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta'aliyah.

Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tidak mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut, disamping itu aliran baru ini juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, karena itu tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara agama dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang sistimatis dan logis atas doktrin-doktrin agama tersebut.

Trancendent theoshopy (al-Hikmah al-Muta'aliyah) adalah sejenis hikmah atau falsafah yang dilandasi oleh fondasi metafisika yang murni, yang diperoleh melalui intuisi intelektual, dan diformulasikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang rasional dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syari’at.

 

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah biografi dari Mulla Sadra?
  2. Bagaimanakah konsep hikmah muta’aliyah Mulla Sadra?

C. Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui bagaimanakah biografi dari Mulla Sadra.

2.      Untuk mengetahui bagaimanakah konsep hikmah muta’aliyah Mulla Sadra.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Biografi Mulla Shadra (1571-1640 M.)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.[1]

Pada sumber-sumber tradisional, tahun kelahirannya tidak ditetapkan, dan baru diketahui kemudian ketikan `Alamah Sayyid Muhammad Hussein Tabataba`i melakukan kereksi terhadap edisi baru al-Hikmah al-Muta`aliyah dan mempersiapkan penerbitannya. Pada catatan pinggir yang ditulis oleh pengarangnya sendiri, ketika ia membicarakan tentang kesatuan antara subyek yang berpikir dan obyek pemikirannya (dalam istilah filosofisnya dikenal sebagai ittihad al-`aqil bi al-ma`qul), ditemukan kalimat sebagai berikut: “Aku memperoleh inspirasi ini pada saat matahari terbit di hari Jum`at, tanggal 7 Jumadi al-Ula tahun 1037 (bertepatan dengan 14 januari 1628), ketika usiaku telah mencapai 58 tahun”.[2]

Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-Farabi).[3]  Tampkanya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini,  pengetahuan yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktek asketis -sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah).[4]   

Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah haji yang ketujuh kalinya.[5]

Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina),  Risalah al-Mazaj (tentang psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik).[6]  

B.     Konsep Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Mulla Sadra

Para filosof muslim berbeda pendapat dalam menjelaskan konsep al-hikmah yang banyak tertera dalam al-Qur’an atau hadis. Berbagai pandangan mengenai pemaknaan terhadap istilah hikmah menemukan konsep puncaknya melalui sentesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra, yang dinamakan dengan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Penyebutan al-Hikmah al-Muta'aliyah sebagai aliran filsafat Mulla Shadra diperkenalkan pertama kali oleh salah seorang murid dan sekaligus menantunya yang bernama ‘Abd Al-Razzâq Lahiji (w. 1072 H/1661 M).

Untuk mengetahui pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra al-Hikmah al-Muta'aliyah harus dilihat bagaimana dia mendefinisikan istilah hikmah atau falsafah. Menurutnya, kedua istilah tersebut adalah identik, dan ketika ia berbicara tentang hikmah atau falsafah dalam perspektifnya sendiri, maka yang dimaksudkan tidak lain adalah al-Hikmah al-Muta'aliyah. Setelah melakukan sintesis terhadap berbagai pandangan terdahulu, Mulla Shadra mendefinisikan falsafah sebagai:

استكمال النفس الانسانية بمعرفة حقائق الموجودات على ما هي عليها والحكم بموجودات تحقيقا بالبراهين لا أخدا بالظن والتقليد بقدر الوسع الإنساني وان شئت قلت نظم العالم نظما عقليا على حسب الطاقة البشرية ليحصل التشبه بالباري تعالى[7]

“Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangunkan berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar sangkaan dan sekedar mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”

 

Berdasarkan pengertian hikmah di atas, bisa dilihat bagaimana Mulla Shadra berusaha mengkombinasikan dan mengharmoniskan berbagai pandangan  terdahulu dengan pandangannya sendiri, melalui kreatifitas serta kejeniusan berpikirnya.

al-Hikmah al-Muta'aliyah epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal), dan syari’at. Sehingga hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argument-argumen rasional. Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dicapai dengan mengikuti syari’at. Sementara itu,  dari sisi ontologis, al-Hikmah al-Muta'aliyah didasarkan atas tiga hal: Prinsip Wujud, gradasi wujud, dan gerak subtansial. [8] 

Dalam mazhab Isfahan, Mulla Shadra tercatat sebagai tokoh, filosof yang sangat tersohor, kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam menguasai  ringkasan pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam rentang waktu 900 tahun dengan pendekatan sintesis akhir berbagai mazhab filsafat dan teologi Islam (kalam). Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapaan-ucapan para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif, kalam sunni dan syi’i serta mazhab gnosis, Mulla Shadramembuat sistesis secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal dengna teosofi transedenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Mulla Shadramerasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual (‘Aql) dan visi batin atau pencerahan (kasyf). Dia berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’ sehingga manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut.[9]

C.     Sumber-Sumber  Pemikiran al-Hikmah al- Muta’aliyah Mulla Sadra

Sebagai sebuah konstruksi pemikiran, al-Hikmah al-Muta’aliyah tentu saja tidak dibangun berdasarkan hasil kreasi individualistik Mulla Shadra semata, tetapi bersumber pada bahan dan unsur yang telah tersedia sebelumnya, baik yang bersifat tradisional maupun historis. Akan tetapi, tidak bisa disimpulkan secara sederhana bahwa visi intelektual yang diformulasikan oleh Mulla Shadra ini sekedar merupakan penggabungan dari berbagai ide dan pemikiran yang mendahuluinya.[10]

Menurut Jalaludin Rahmat, Sadra mengambil filsafat pra-Sokrates hingga berbagai pikiran yang hidup pada zamannya. Namun, hanya ada tiga pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi pondasi bagi sistem pamikiran Mulla Shadra. Pertama, pemikiran Ibnu Sina (980-1037 M). Ajaran Ibnu Sina menjadi pondasi bagi seluruh pembahasan filsafat Shadra, sehingga semua persoalan selalu diawali dengan apa yang dikatakan al-Syaikh al-Rais (guru kepala), gelar bagi Ibnu Sina. Ia juga mengambil pendapat-pendapat Ibnu Sina untuk mendukung konsep-kosepnya sendiri, seperti soal realitas wujud dan kelemahan esensi . Namun, Sadra juga mengkritik dan memodifikasi filsafat Ibnu Sina. Menurut Rahmat, kritik Shadra yang paling keras terhadap Ibnu Sina adalah dalam soal epistemologi, yakni ketika Ibnu Sina menolak kesatuan absolut antara subyek dan objek yang diketahui.[11]

Kedua, pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153-1191 M). Meski dalam beberapa bagian Shadra mengkritik dan menolak ajaran Suhrawardi, tetapi pemikiran tokoh ini memberi bentuk bagi pemikiran Sahdra yang khas. Pendangan Suhrawardi bahwa esensi  bukan realitas diambil Sadra dengan doktrinnya tentang ashal al-wujud (principiality of being) bahwa yang pokok dalam realitas adalah eksistensi, bukan esensi . Esensi  adalah sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan realitas yang sebenarnya. Sementara itu, gagasan Suhrawardi tentang “jenjang cahaya” mengilhami Shadra untuk memunculkan gagasannya tentang tasykik al-wujud (garadation of being), bahwa meski realitas itu tunggal tetapi muncul dalam berbagai tingkat intensitas dan manifestasi.[12]

Ketiga, pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240). Yang diambil Shadra dalam tokoh ini adalah soal tiga isu penting filsafat Islam, non-wujudnya esensi , realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran eskatologi-psikologis alam citra. Gagasan tentang non-wujudnya esensi  diambil untuk mendukung gagasannya bahwa eksistensi adalah realitas satu-satunya dan ia bukan esensi . Realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran eskatologis-psikologis alam citra. Gagasan tentang non-wujudnya esensi  diambil untuk mendukung gagasannya bahwa eksestensi adalah realitas satu-satunya dan ia bukan esensi . Doktrin tentang realitas sifat-sifat Tuhan digunakan untuk melahirkan gagasannya tentang ‘kesatuan wujud wujud yang menyingkapkan diri’, sedangkan ajaran ‘alam citra’ dipakai untuk membuktikan ajaran kebangkitan jasmani seperti yang diyakini oleh sebagian kaum teolog.[13]

Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shdra dibangun di atas pondasi Ibn Sina, dibentuk dengan sistem Suhrawardi dan dikaji berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan oleh Ibnu Arabi. Filsafat Mulla Shadra bukan sekedar penyatuan dari aliran-aliran utama, bukan kompromi atau rekonsiliasi permukaan, tapi merupakan sintesa sejati yang didasarkan atas sebuah prinsip filsafat penting yang baru pertama kali diuraikan dalam sejarah filsafat Islam. Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tak mampu diselesaikan oleh aliran filsafat dan teologi.

D. Filsafat Mulla Sadra

  1. Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)

Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah).[14]

Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.[15]

Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi  dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi  ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi  tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya.[16]

Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi  lebih fundamental dari esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi  yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.

Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Sadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap esensi  atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi  dengan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi  adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan.[17]

Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.[18]

Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.[19]

Pandangan Shadra diatas, bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi, membedakan Shadra denga peripatetik muslim yang menyatakan bahwa benda-benda konkrit tersusun atas esensi  dan eksistensi yang masing-masing mempunyai realitas yang terpisah. Pandangan tersebut juga membedakan Sadra dengan Suhrawardi yang meyakini esensi  sebagai realitas dan eksistensi sebagai abstraksi. Mulla Shadra mengadopsi prinsip ini dari irfan teoritis dan menjabarkannya secara filosofis kemudian meletakkannya sebagai pondasi filsafatnya.

  1. Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)           

Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik.[20]

Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta'aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.

Pandangan gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi tentang garadasi cahaya, tetapi Shadra mengubah prinsip tersebut secara mendasar. Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan pada esensi  seperti pada Suhrawardi tetapi pada eksistensi, sebab bagi Sadra, eksistensilah realitas asli satu-satunya. Kedua, bahwa eksistensi tidak hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi yang sistematis, sebab kenyataanya wujud tidak statis melainkan bergerak terus-menerus. Gerakan ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang umum, lebih tidak menetu dan tingkatan-tingkatan yang lebih menyebar kepada bentuk-bentuk eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan lebih menyatu. Setiap model eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai genus atau materi kemudian tertelan kedalam kekonkritan bentuk sesudahnya yang bertindak sebagai diferensia atau bentuk. Daya dorong, gerak universal ini adalah ‘isyq (cinta kosmis) yang mendorong segala sesuatu bergerak kea rah yang lebih konkrit. Karena itu, gerak dari yang kurang sempurna ke arah yang lebih sempurna ini tidak bisa dibalik, karena eksistensi memang tidak pernah bergerak kebelakang.[21]

Dalam ungkapan lain, gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.

3. Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)

Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla Shadraterhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus.[22]

 Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.[23]

Mulla Shadraberpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya.[24]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar jelas Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada.

Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya.

Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: iluminasi intelektual ( dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional ( ‘aql atau istidlal ), dan agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Nur, Syaifan. 2001. Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muntahari, Murtdha. 2002. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, Bandung: Mizan.

 

Sholeh, A. Khodhori. 2004. Wacana Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyah, Juz I, hlm. 21 dalam  Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Rahmat, Jaluddin. 2001. Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, pengantar dalam Kearifan Puncak., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Tafsir, Ahmad. 1993. Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. III.Bandung : Remaja Rosdakarya.

 

Ha’iri yazdi, Mehdi 1994. Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad Bandung : Mizan.

 

Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah.

 

Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, Bandung: Pustaka

 

Riadi, Haris Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010)

 

Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan, Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj

 

 



[1] Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41-42

[2] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 42

[3] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 14

[4] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 14

[5] A. Khodhori Sholeh, Wacana Baru Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 158

[6] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 159

[7] Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyah, Juz I, hlm. 21 dalam  Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 143

[8] Jaluddin Rahmat., Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, pengantar dalam Kearifan Puncak., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. xv

[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. Iii (Bandung : Remaja Rosdakarya,1993), hlm: 192

[10] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 106

[11] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 160

[12] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 160-161

[13] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 161

[14] Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 51

[15] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 80

[16] Husain Nashr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung: Risalah, 1986), hlm. 22-25

[17] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 3

[18] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 181-182

[19] Syaifan Nur, Filsafat..., hlm. 182

[20] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 164

[21] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra..., hlm. 6-7

[22] Haris Riadi, Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010)

[23] Haris Riadi, Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah..,

[24] Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan (Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj), hlm.63.

 

Filsafat Iluminasi Suhrawardi

BAB I

PENDAHULUAN

I.I  Latar Belakang

            Gagasan tentang suatu iluminasi ilahi dalm pikiran yng merupakan inti aliran iluminasi telah berkembang dalam sejarah baik dalam kontek filosof maupun keagamaan, sering kali aliran ini mengaitkan kedua tipe pemikiran, sering kali pula ia membawa nuansa keagamaan bahkan dalam penerapan-penerapannya yang lebih filosofis. Aliran ini dipercaya dimulai oleh plato, meskipun deskipsi yang lebih akukrat menunjukkan bahwa aliran ini sesungguhnya telah lahir lebih jauh dari itu, yakni dalam masa-masa sokratik dan pra-sokratik. Para filosofis Isroqiyyah berbicara tentang suatu kilatan – mendadak pemahaman atau ilmu dalam pikiran. Selama priode hellenistik dan romawi, aliran ini terserap dan tergabungkan dalam pikiran kristiani dan yahudi.

            Dalam pemikiran kristian, teori tentang Illuminasi telah berkembang hingga  mencapai ungkapannya yang tertinggidalam karya S. Augustinus. Melalui Thomas Aquinas, teori ini telah menjadi “mode” diantara sejumlah pemikir abad ketiga belas seperti S.T Bona ventura, bahkan juga diabad-abad yang lebih belakangan ia bergema dalam pemikiran sekelompok pemikiran moderen, semisal Melebrance. Dalam masa-masa abad pertrengahan dan sesudah itu, bahasa Illuminasi semakian menjadi cirri khusus penulis-penulis mistikal dan penulis-penulis tentang kehidupan spiritual lainnya. Dalm filsafat islam, perkembangan ini menemukan bentuk khasNya dalam Isroqiyyah suhrawardi.

I.II  Rumusan Masalah

a.       Siapakah Shihab Suhrawardi itu?

b.      Bagimana ajaran filsafat Shihab Shurawardi itu?

c.       Apa saja karya-karya Shihab Suhrawardi?

 

I.III  Tujuan Masalah

  1. Untuk mengenal siapa Shihab Shurawardi
  2. Untuk mengetahui bagaimana filsafat suhrawardi
  3. Untuk mengetahui karya-karya Shihab suhrawardi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 11

PEMBAHASAN

II.I  Biografi Suhrawardi

Nama lengkap Suhrawardi ialah ‘Abu al-Futuh Yahya bin Habasy bin ‘Amirak as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153 M.., di Suhrawardi, sebuah kampung di kawasan jibal, Iran Barat laut dekat zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar: Syaikh al-‘Isyraq; Master of illuminasionist; al-hikam; asy-Syahid; the Martyr, dan al-Maqtu. Akan tetapi Suhrawardi lebih terkenal dengan sebutan al-Maqtul. Penyebutan al-Maqtul di belakang namanya terkait dengan proses meninggalnya. Di samping itu, al-Maqtul adalah gelar yang membedakannya dari dua tokoh tasawuf yang memiliki nama yang serupa, yakni Suhrawardi; Pertama, ‘Abd al-Qahir Abu Najib as-Suhrawardi (w. 563 H./1168 M). Ia adalah murid dari Ahmad Ghazali (adik imam Ghazali). ‘Abd al-Qahir merupakan pemuka mistisisme yang menulis kitab ‘Adab al-Muridin (Moralitas santri). Buku ini merupakan karya rujukan dan menjadi salah satu pegangan bagi pemula yang hendak mendalami tasawuf. Tokoh kedua adalah Abu Hafs ‘Umar Shihab ad-Din as-Suhrawardi al-baghdadi (1145-1234). Dia adalah kemenakan dan sekaligus murid dari Abi Najib Suhrawardi. Abu Hafs Umar Shihab ad-Din as-Suhrawardi al-Baghdadi adalah pengarang kitab ‘Awarif al-Ma’arif. Dia mendaoat julukan Syaikh asy-Syuyukh, sebagai guru yang di angkat secara resmi di Baghdad, dan aktif di lapangan politik.[1]

Pada umumnya, para filsuf atau sufi gemar menuntut ilmu dengan cara mengembara, merantau untuk memperdalam ilmu dan menambah pengalamannya. Di usianya yang terbilang sangat muda, Suhrawardi telah mengunjungi sejumlah tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing ruhaninya. Suhrawardi al-Maqtul melanglang buana ke Persia, Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo.[2]

Wilayah yang pertama kali di kunjungi Suhrawardi adalah Maragha, yang berada di kawasan Azerbaijan. Di tempat inilah ia belajar hukum.

Setelah belajar di Maragha, Suhrawardi kemudian meneruskan perjalanannya ke Isfahan, Iran Tengah, kota yang terkenal dengan keindahan alam dan keagungan lingkungannya. Di kota inilah tumbuh dan berkembangnya beragam pemikiran, Khususnya falsafah Ibn sina. Di sini, Suhrawardi belajar logika kepada Zhahir ad-Din al-Qari. Dia mempelajari logika melalui bulu Al-Basha’ir an-Nashiriyyah karya umar ibn Sahlan as-Sawi (w.540 H./ 1145 M.). As-Sawi juga di kenal sebagai pengulas Risalah ath-thair-nya ibn sina. Dari nIsfahan, Suhrawardi meneruskan petualangannya menuju Anatolia Tenggara dan ia di terima dengan baik oleh sejumlah pangeran Bani Saljuq Romawi.Suhrawardi tertarik pada ajaran dan doktrin tasawuf dan akhirnya ia menekuni mistisisme. Dalam hal ini, Suhrawardi tidak sekedar mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, akan tetapi langsung mempraktikannya sebagai sufi sejati.

Suhrawardi mengakhiri petualangannya di Syria. Dari damaskus ia kemudian pergi menuju Aleppo, Malik azh-Zhahir, putera dari Shalihuddinal-Ayyubi al-Kurdi, yang di kenal sebagai bintang perang salib. Malik Azh-Zahir sangat menghargai dan menghormati para ulama’, cendikiawan dan ahli piker. Kecenderungan malik itu menyebabkan sangat tertarik serta merasa cocok deangan cara berfikir Suhrawardi dan beliau mengundang Suhrawardi ke istana untuk menjelaskan ide-ide pemikirannya. Di depan gurbenur Allepo inilah Suhrawardi menunjukkan kepiawaianya dalam falsafah dan tasawwuf. Ketika menghadapi berbagai pertanyaan, Suhrawardi dapat memberi argumen-argumen yang jitu sehingga mampu menangkis segala serangan yang diarahkan peserta diskusi padanya.[3]

            Namun, satu hal yang amat disayangkan ialah bahwa penghormatan yang diberikan Malik azh-Zihar tidak diikuti para fuqoha pada saat itu. Kondisi religio, sosio, politik ternyata tiodak mendukung keunggulan dan kecerdasan Suhrawardi. Mereka merasa cemburu dan tersaingi dengan tempilnya filufus muda berbakat itu dan mereka pun berusaha untuk melenyapkannya. Para fuqoha’ memanfaatkan kelemahan Suhrawardi yang menyampaikan kelemahan batiniyah secara terbuka.

Suhrawardi dianggap menonjolkan unsure kebatinan dan dalam wacana teologis ia cenderung pada paham syiah, khususnya islamiyah. Malik Azh-Zhahir menyadari bahaya yang mengancam tokoh muda itu, dan membahayakan akan perlakuan yang menimpa Al-Hallaj akan terulang lagi. Oleh karena itu ia menolak tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh kalangan fuqoha’.

Setelah para ulama’ mengetahui adanya perlindungan yang diberikan oleh Malik kepada Suhrawardi. Mereka pun mengajukan tuntutan secara langsung kepada sultan Salahudin al-Ayubi yang menguasai Yaman, Mesir dan Syria. Dengan mempertimbangkan andil yang telah disumbangkan kalangan fuqoha’ kepada Negara maka salahuddin pun tidak berdaya menolaknya. Akhirnya dengan amat terpaksa Malik Az-Zahir pun melaksanakan tuntutan para fuqoha’ dan mengeksekusi Suhrawardi dengan hukuman penjara. Namun demikian, penyebab langsung dari kematian Suhrawardi tidak jelas dan masih tetap menjadi misteri. Dalam kaitan ini Zai mengatakan bahwa Suhrawardi mati dihukum gantung. Suhrawardi meninggal pada 29 juli 578 H/1191 M dalam usia 36 tahun menurut kalender syamsiyah atau 38 tahun menurut kalender Qomariyah.[4]

II.II  Filsafat As-Suhrawardi

            Suhrawardi sangat terkenal dalam sejarah filsafat islam sebagai guru Illuminasi (syaikh Al-Isroq) suatu sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri madzab baru filsafat Illuminasi(Isroqiyyah) yang berbeda dengan madzab pari patetik.

A  pengertian dan sumber sumber Israqi

kata isroq mempunyai banyak arti antra lain terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi. Tegasnya israqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambing keburukan , kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.

Lebih jauh cahaya adalah symbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan satu factor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan skunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyroqi. [5]

Suhrawardi mengatakan bahwa prinsip filsafat Isyroqiyah adalah medapat kebenaran lewat intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverikasinya secara logis-rasional. Dengan kata lain prinsip dasar illuminisme adalah mengetahui sama dengan memperoleh suatu pengalaman, suatu institusi langsung dari apa yang diketahui itu. Hanya setelan diketahui secara total, intuitif, dan langsung (immediate) pengetahuan ini dianalisis yakni secara diskursif- demonstrasional.[6]

Sehubungan dengan itu ia mengemukakan keempat tahap yang mesti ditempuh oleh setiap orang dalam proses mendapatkan pencerahan(isyraq) yaitu:

1.      tahap pertama

Dalam ahap ini seseorang harus rela membebaskan diri dari kecenderungan diri, dari kecenderungan duniawi untuk menerima pengalaman ilahi.

2.      setelah menempuh tahap pertama sang filosof memasuki tahap illuminasi yang didalamnya ia mendapatkan pengelihatan akan sinar ketuhanan serta mendapatkan apa yang disebut cahaya ilham( Al- Anwar Al-Sanihah)

3.      tahap pembangunan pengetahuan secara utuh, berdasarkan atas logika diskursif.

4.      pengungkapan atau penulisannya.

Sama seperti filsafat emanasi dalam peripatetisme yang mendahuluinya, dalam isyaqqiyah wujud mempunyai hierarki-hierarki dari yang paling atas hingga kebawa. Hanya saja kalaau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek maka dalam filsafat isyroqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya). Penggunaan cahaya untuk mengidentifikasi wujud ini setidaknya memiliki dua kelebihan. Pertama, adanya cahaya tidak perna dapat dipisahkan dari sumber cahayanya. Tidak mungkin adanya cahaya tanpa adanya sumber cahaya. Begitupun sebaliknya. Hal ini lebih tegas lagi menggambarkan kaitan alam sem,esta dan tuhan. Kedua, konsep cahaya lebih memungkinkan pengambaran konsep kedekatan (qurb) dan kejahuan (bu’d)[7]

            Pemik,iran Suhrawardi dipengaruhi oleh beberapa aliran dalam pemikiran islam yaitu:

1.      tasawwuf khususnya sebagaimana yang diungkapkan Al-Ghozali dan Al-Hallaj.

2.      peripatetisme, khususnya pemikiran Ibnu Sina. Disini sudah jelas adanya kombinasi antara pemikiran Suhrawardi dengan para filosof sebelumnya.

3.      neoplatonisme dan phytagorisme yaitu paham filsafat yunani yang lebih bersifat mistis.

4.      kepercayaan Zoroasterian Persia.

Namun tentang poin yang terakhir ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yaitu:

Pertama, Suhrawardi termasuk salah seorang filosof yang mempercayai adanya perennial wisdom, dalam arti bahwa sebetulnya hikmah (wisdom)itu bersifat perennial dan bersumber dari tuhan yang sama, yamg diturunkan lewat utusan. Dengan demikian, Suhrawardi, bahkan para filosof muslim sebelumnya, tidak alergi untuk mrngambil pemikiran dan tradisi lain-dalam hal ini yunani dan Persia

Kedua, menurut ahli filsafatyang mempelajari pemikiran Suhrawardi, sesungguhnya Suhrawardi hanya menggunakan terminology Zoroasterianisme yang dianggap cocok untuk mengembangkan pemikirannya. Karena, Zoroasterianisme mengembangkan suatu system pemikiran yang berbasis pertentangan antara cahaya dan kegelapan, sementara, fisafat wujud Suhrawardi juga berbsis kepada hal yang sama, atau pencerahan (iluminasi)[8]

 

 

B. Metafisika dan Cahaya

            Inti filsafat Illuminasionis adalah sifat dan penyebaran cahaya. Berapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya. Berdasarkan QS. An –Nur ayat 35:

* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4

  dari ayat tersebut Allah menyebut diriNya sebagai cahaya langit dan bumi.

            Cahaya yang dimaksud Suhrawardi  bersifat immaterial dan tidak bias didefinisikan, karena sesuatu yang terang tidak memerlukan definisi, dan cahaya adalah entitas yang pling terang di dunia. Bahkan cahaya menembus susunan semua entitas, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, sebagai suatu komponen yang esensial dari padanya. Karena itu esensi cahaya adalah manifestasi. Jika manifestasi adalah suatu atribut yang ditanbahkan kepada cahaya, itu berarti bahwa cahaya itu sendiri tidak memiliki kualitas dapat dilihat dan menjadi apat dilihat hanya dengan sesuatu yang lain yang sesuatu yang lain itu dapat dilihat. Dari pernyataan ini timbul konsekuenai yang mustahil yaitu bahwa sesuatu selain cahaya lebih terlihat dari pada cahaya itu. Maka itu, untuk untuk eksistensi dirinya, cahaya pertama tidak mempunyai penyebab lain diluar dirinya. Semua yang selain prinsip utama ini adalah tergantung. Dan mungkin yang bukan cahaya (kegelapan) bukanlah suatu yang khusus yang dating dari suatu sumber yang mandiri. Segala sesuatu bukan dari “cahaya murni” terdiri dari yang tidak membutuhkan substrantum, yang merupakan suptansi gelap. Sejauh benda-benda itu dapat menerima baik cahaya maupun kegelapan, bias dinamakan “ismus-ismus”. Dipandang dari dirinya sendiri, setiap ismus aalah gelap. Cahaya apapun yang dimilikinya, mustilah dari sumber luar.[9]

            Subtansi-subtansi gelap ini mempunyai sifat seperti figure dan ukuran, yang berasal dari sifat gelap yng inheren dalam suptansi gelap. Sedangkan cahaya murni bebas dari kegelapan, jadi begitu saja memahami sendiri tanpa agen diluar dirinya, sementara setiap tindakan lain dari pemahanan tergantung padanya.

 

 

C.  Epistimologi

            Suhrawardi mengkritik logika Aristoteles. Menurut Aristoteles, definisi adalah genus plus diferensia. Tapi, suhrawardi berpendapat bahwa atribut khusus hal yang tedefinisikan, yang tidak dapat dipredikatkan kepada hal lain. Suhrawari berpendapat bahwa suatui definisi yang benar menyebutkan satu demi satu suatu atribut yang esensialyang secara kolektif hanya ada pada benda yang didefinisikan itu walaupun atribut-atribut itu bias aja secara tersendiri ada pada benda lain. [10]

            Suhrawardi membahas anjang lebar masalah pengetahuan, pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan sau teori visi yang dalam beberapa hal mirip dengan psikologi Gestalt. Ia menggabungkan cara nalar dengan intuisi, dan menganggap keduanya sebagai saling melengkapi. Menurut Suhrawardi, nalar tanpa intuisi dan iluminasi adalah kekanak-kanakan, rabun dan tidak akan bias mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latian dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan bias mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis. Atas dasar itulah Suhrawardi membangun alirannya dengan mendekati paham paripatik, khususnya ditafsirkan oleh ibnu sina, dan mendekat dokrin gnoktik aliran ibnu Arabi. Karena itu untuk dapat mendalami secara lengkap sisi lengkap sisi intelektual murni filsafat transcendental, para penelaah, menurut Suhrawardi harus mengenal secara mendalam filsafat Aristoleles,logika,Matematika dan sufisme. Pikirannya harus sepenuhnya bebas dari prasangka dan dosa, sehngga ia secara bertahap bias mengembangkan indera batinnya, yang menguji dan mengoreksi apa yang di mengerti oleh pikran hanya sebagai tori. Akal yang tanpa bantuan Dzauq tidak dapat di percaya. Dzauq berfingsi menyerap misterius ata segala esensi dan membuang skeptesisme. Tetapi sisi spekulatif murni pengalaman spiritual perlu di rumuskan dan di sistematisasikan oleh pikiran yang logis (discursive thought). Jadi tujuan akhir segala bentuk pengetahuan adalah iluminasi dan ma’rifat (gnosis), yang di tempatkan oleh Suhrawardi secara tegas dan puncak hierarki pengetahuan. Hal itu tergambar dalam tulisannya Song of the Griffin (Nyanyian Griffin)   [11]

 

D. Kosmologi

            Segala yang “bukan cahaya” di sebut sebagai “kualitas mutlak” atau “Materi mutlak” . Landasan mutlak semua benda dapat di bagi menjadi dua jenis:

1.            Yang di luar ruang—atom-atom subsanti tidak terang (esensi-esensi       menurut kaum Asy’ari).

2.      Yang mesti di dalam ruang –bentuk-bentuk kegelapan, misalnya; berat, bau, dan sebagainya.

Terdapat tiga unsure dasar, yaitu, air, tanah, dan angina. Menurut orang-orang isyraqi, api hanyaklah angina yang menyala. Padauan unsur-unsur ini, di bawah berbagai pengaruh langit, mengambil berbagai bentuk, yaitu bentuk cair, gas, padat. Perubahan bentuk unsure-unsur orisinil itu membentuk proses “ membuat dan merusak” yang menembus seluruh lingkup dari yang bukan cahaya, yang menimblkan bermacam-macam bentuk esistensi yang semakin meninggi, dan yang semakin mendekatkan mereka kepada kekuatan-kekuatan penerang. Semua fenomena alam, yaiti hujan, awan, halilintar, meteor, guntur, adalah berbagai kerja dari prinsip imanen gerak ini, dan di terangkan oleh operasi langsung dan tidak lansung Cahaya pertama atas segala sesuatu, yang satu sama lainnya berbeda dalam kapasitas penerimaan banyak sedikitnya penerangan. Singkatnya, Alam semesta ialah suatu hasrat yang membantu; suatu kristalisasi kerinduan kepada cahaya.[12]  

            Dari uraian diatas jelaslah bahwa  pelimpahan dari sunber pertama(tuhan) itu bersifat abadi, terusmenerus sebab pelkunya tidak berubah-ubah dan terus ada. Sebagai konsekuensinya, alam ini juga abadi sebagai akibat dari perlimpahanNya. Dengan kata lain ada dua yang abadi, tuhan dan alam. Namun menurut Suhrawardi keduanya tetap berbeda. Tatapi apakah alam semesta itu abadi? Alm semesta adalah manifestasi kekuatan penerang yang membentuk pembawaan esensial cahaya pertama. Karena itu, sejauh alam semesta merupakan suatu manifestasi, maka hanya ia suatu maujud yang tergantung, dan akibatnya ia tidak abadi. Ada beberapa penerangan yang secara langsung abadi tetapi dapat pula redup, yang penampakannya tergantung kepada panduan sinar-sinar dan penerangan-penerangan lain. Eksistensi semua ini tidaklah abadi, dalam arti seperti eksistensi penerangan-penerangan induk yang praeksis. Eksistensi warna misalnya, bergantung bila dibandingkan dengan eksistensi sinar yang menjelmakan warna pada saat suatu benda gelap dihadapkn pada suatu benda yang bersinar. Karena itu alam semesta, meskipun tergantung pada manifestasi, abadi oleh wata abadi sumbernya. Mereka yang menganut ketidak abadian alam semesta membantah asumsi suatu induksi lengkap.

            Lebih lanjut Suhrawardi mengelompokkan alam kepda empat tingkatan yaitu:

1.      Alam akal-akal (‘Alam Al-‘Uqul). Dalam lingkungan alam akal ini berisi caaya-cahaya dominator yang jumlahnya tergantung dari initensitas pancaran dari cahaya pertama. Termasuk dalam akal ini aalah Ruh Qudus yang darinya jiwa-jiwa kita berasal, dab Rabb Thilsam. Filusuf paripatetis menyebut ala mini sebagi akal fa’al. Dalam terminologi lain Suhrawardi menyebutnya Arbab al-Anwa.

2.      Alam jiwa-jiwa(A’lam al-Nufus). Didalamnya terdapat jiwa-jiwa pengatur pelanet-pelanet langit dan tubuh-tubuh manusia. Dalam hal ini, jiwa-jiwa pelnet muncul secara langsung dri akal-akal yang tinggi, sementara Suhrawardi berpendapat bahwa jiwa-jiwa planet tersebut muncul dari Arbab Al-Anwa’ Al-Samawi, yang berasal dari hirarki cahaya atau akal-akal Horisontal.

3.      Alam bentuk (‘Alam al-Asjam). Menurut Suhrawardi ada dua macam alam bentuk; pertama, Alam bentuk unsure yng dibawa planet bulan. Kedua, Alam bentuk zat yang sangat luas yaitu bentuk-bentuk planet langit.

4.      Alam mitsal yaitu suatu alan kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.

Tiga alam diatas sudah lazim diperbincangkan filsuf sebelumnya, seangkan alam keempat ini merupakan inovasi baru yang ditemui Suhrawardi mujahadah dan musahadah secara berkelanjutan.

 

 

 

 

II.III  Karya-Karya Suhrawardi

Suhrawardi telah menulis tidak kurang dari 50 karya filsafat dan gnostik dalam yang secara bahasa Arab dan Parsia. Seyyed Hossein Nasr mengelompokkan karya-karya Suhrawardi kedalam lima bagian, yaitu :[13]

1.. Berisi pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penafsiran dan modifikasi   terhadap filsafat peripatetic. Ada empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam bahasa Arab, yaitu Talwihat (The Book of Intimations), muqawamat (The Book of oppositions), Mutharahat (The Book of Conversations), Hikmat al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of Light). Khusus Hikmat al-Isyraq merupakan karya pamungkas yang secara seimbang menggunakan metode bahsiyah dan zauqiyah, selain itu ia menganjurkan agar berpuasa 40 hari sebelum mempelajarinya sebagai persiapan dalam memperkuat batin. Pembahasan buku ini bertitik tekan pada Cahaya Tuhan, setelah sebelumnya dilakukan kritik terhadap filsafat peripatetik.

2. Karangan pendek tentang filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan , yaitu Hayakil al-nur (The Temples of Light), al-Alwal al-‘imadiyah (Tablets Dedicated to ‘tiqad al-Din), partaw-nqmah (Treatise on illumination), Fi I’tiqad al-Hukuma’ (Symbol of Faith of the Philosophers), al-lamahat (The Flashes of Light), Yazdan Syinakht (The Knowledge of God), dan Bustan al-Qulub (The Garden of the Heart).

3. Karangan pendek yang bermuatan dan berlambang mistis, pada umumnya ditulis dalam bahasa Persia,meliputi ‘Aql-I Surkh (The red archangel atau Literally Intellect), Awaz-I par-I jibra-il (The Chant of the WingofGabril), al-Ghurbat al-Gharbiyah (The Occidental Exile), Lughat-I Muran (The language of Termites), Risalah fi Halat al-Thifuliyah (Treatise on the State of Chldhood), Ruzi bajama’at-I Shufiyan (A Day with the Community of Sufis), Risalah fi al-mi’raj (Treatise on the Noctural Journey), Syafir-I Simurgh (The Song of the Griffin).

4. Komentar terjemahan dari filsafat terdahulu dan ajaran-ajaran keagamaan, seperti Risalah al-Thair (The Treatise of the Birds) Karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; Komentar terhadap kitab Isyarat karya ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah Fi Haqiqat al-‘Isyaqi, yang terpusat pada risalah ibn sina Fi al-Isyqi;serta sejumlah tafsir al-Qur’an dan Hadist Nabi.

4. Do’a-do’a, yang dikenal dengan al-Waridat wa al Taqdisat (Do’a dan penyucian).      

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

III.I  Kesimpulan

            Dalam perseektif histories setelah Ibnu Rusd tidak berhasil mempertahankan logika dan filsafat Aristotelalian dari serangan Al-Ghozali (1058-1111 M) usaha Suhrawardi yang mengkompromikan berbagai aliran pemikiran khususnya nalr diskursif dan intuitif intelektual ternyata memberikn arah baru bagi perkembangan filsafat islam.kenyataannya metode penggabungan antara filsafat dengan tasawwuf ini lebihdominan dan diikuti para peikir islam sesudhnya antara lain seperti yang ditunjukkan oleh Ibnu Arobi dn Mulla Sandra. Disisi lain, penggabungn dua nalar tersebut adalah sesuatu menarik utuk direnungkan. Dengan filsafat seseorang bisa berpikir sejauh dan seluas mungkin. Tetapi dengan adanya agama dan spiritual ia tetap terkendali dan berada dalam batas yang ditentukan. Artinya, dengan penggabungan tersebut pada saat ini pengetahuan dan teknologi mestinya bukn menadi tujuan hidup melainkan hanya sebagai sarana agar manusia sadar akan tanggung jawabnya sebagai kholifah di bumi.

            Pemikirannya tentang illuminasi di mana prosesnya terus berjaln tanpa henti, memberikan pemahaman bahwa realitas yang da sangat luas dan terbentang tanp batas. Satu-satunya yang membatasi hanyalah kegelapan, suatu wilayah yang tidak atau belum terjangkau oleh cahaya. Ini adalah gagasan yang berani memberi tantangn baru bagi pemikiran manusia, disbanding konsep emanasi Al-farobi yang berhenti pada tingkt ke12. disisi lain, konsepnya, bahw realitas cahaya yang merupakan hakikat wujud adalah satu meski berbeda-beda tingkat intensitas penampakannya, akan mengiring pada paham esensialisme. Dalam bidang teologi, konsep ini bila diterjemahkan dalam sebuah dokrin bahwa keseluruhan wujud adalah tuhan tetapi tuhan bukanlah keseluruhan wujud sehingga menjadi paham monistik.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Baqir, Haidar. 2006. Buku Saku Filsafat Islam: Bandung

Drajat, Amroeni. 2005. Kritik Falsafah Paripatetik. PT. LKIS Pelangi Askara: Yogyakarta.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. 2005. Gaya Media Pratama: Jakarta.

Soleh, Khorudi. Wacana Baru Filsafat Islam. 2004. Pustaka Pelajar: yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Amroeni drajat, Suhrawardi kritik falsafah paripatetik. Cet I. 2005. PT LKIS pelangi aksara: yogyakarta. Hal 29

[2] Ibid, hal 30

[3] Ibid, hal 33

[4] Ibid, hal 37

[5] Khoirudi solleh. Wacana baru filsfat islam. Cet I 2004. pustaka pelajar offset: yogyakarta. Hal 120

[6] Haidar Baqir. Buku saku filsafat islam. Cet II 2006. Bandung . hal 144

[7] Ibid, hal 147

[8] Ibi, hal 141

[9] Hasyimsah nasution. Flsafah Islam.2005. Gaya media pratama: Jakarta. Hal 146

[10] Ibid. hal 53

[11] ibid

[12] Ibid 160

[13]  Ibid 144