Sabtu, 22 Januari 2011

Filsafat Iluminasi Suhrawardi

BAB I

PENDAHULUAN

I.I  Latar Belakang

            Gagasan tentang suatu iluminasi ilahi dalm pikiran yng merupakan inti aliran iluminasi telah berkembang dalam sejarah baik dalam kontek filosof maupun keagamaan, sering kali aliran ini mengaitkan kedua tipe pemikiran, sering kali pula ia membawa nuansa keagamaan bahkan dalam penerapan-penerapannya yang lebih filosofis. Aliran ini dipercaya dimulai oleh plato, meskipun deskipsi yang lebih akukrat menunjukkan bahwa aliran ini sesungguhnya telah lahir lebih jauh dari itu, yakni dalam masa-masa sokratik dan pra-sokratik. Para filosofis Isroqiyyah berbicara tentang suatu kilatan – mendadak pemahaman atau ilmu dalam pikiran. Selama priode hellenistik dan romawi, aliran ini terserap dan tergabungkan dalam pikiran kristiani dan yahudi.

            Dalam pemikiran kristian, teori tentang Illuminasi telah berkembang hingga  mencapai ungkapannya yang tertinggidalam karya S. Augustinus. Melalui Thomas Aquinas, teori ini telah menjadi “mode” diantara sejumlah pemikir abad ketiga belas seperti S.T Bona ventura, bahkan juga diabad-abad yang lebih belakangan ia bergema dalam pemikiran sekelompok pemikiran moderen, semisal Melebrance. Dalam masa-masa abad pertrengahan dan sesudah itu, bahasa Illuminasi semakian menjadi cirri khusus penulis-penulis mistikal dan penulis-penulis tentang kehidupan spiritual lainnya. Dalm filsafat islam, perkembangan ini menemukan bentuk khasNya dalam Isroqiyyah suhrawardi.

I.II  Rumusan Masalah

a.       Siapakah Shihab Suhrawardi itu?

b.      Bagimana ajaran filsafat Shihab Shurawardi itu?

c.       Apa saja karya-karya Shihab Suhrawardi?

 

I.III  Tujuan Masalah

  1. Untuk mengenal siapa Shihab Shurawardi
  2. Untuk mengetahui bagaimana filsafat suhrawardi
  3. Untuk mengetahui karya-karya Shihab suhrawardi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 11

PEMBAHASAN

II.I  Biografi Suhrawardi

Nama lengkap Suhrawardi ialah ‘Abu al-Futuh Yahya bin Habasy bin ‘Amirak as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153 M.., di Suhrawardi, sebuah kampung di kawasan jibal, Iran Barat laut dekat zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar: Syaikh al-‘Isyraq; Master of illuminasionist; al-hikam; asy-Syahid; the Martyr, dan al-Maqtu. Akan tetapi Suhrawardi lebih terkenal dengan sebutan al-Maqtul. Penyebutan al-Maqtul di belakang namanya terkait dengan proses meninggalnya. Di samping itu, al-Maqtul adalah gelar yang membedakannya dari dua tokoh tasawuf yang memiliki nama yang serupa, yakni Suhrawardi; Pertama, ‘Abd al-Qahir Abu Najib as-Suhrawardi (w. 563 H./1168 M). Ia adalah murid dari Ahmad Ghazali (adik imam Ghazali). ‘Abd al-Qahir merupakan pemuka mistisisme yang menulis kitab ‘Adab al-Muridin (Moralitas santri). Buku ini merupakan karya rujukan dan menjadi salah satu pegangan bagi pemula yang hendak mendalami tasawuf. Tokoh kedua adalah Abu Hafs ‘Umar Shihab ad-Din as-Suhrawardi al-baghdadi (1145-1234). Dia adalah kemenakan dan sekaligus murid dari Abi Najib Suhrawardi. Abu Hafs Umar Shihab ad-Din as-Suhrawardi al-Baghdadi adalah pengarang kitab ‘Awarif al-Ma’arif. Dia mendaoat julukan Syaikh asy-Syuyukh, sebagai guru yang di angkat secara resmi di Baghdad, dan aktif di lapangan politik.[1]

Pada umumnya, para filsuf atau sufi gemar menuntut ilmu dengan cara mengembara, merantau untuk memperdalam ilmu dan menambah pengalamannya. Di usianya yang terbilang sangat muda, Suhrawardi telah mengunjungi sejumlah tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing ruhaninya. Suhrawardi al-Maqtul melanglang buana ke Persia, Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo.[2]

Wilayah yang pertama kali di kunjungi Suhrawardi adalah Maragha, yang berada di kawasan Azerbaijan. Di tempat inilah ia belajar hukum.

Setelah belajar di Maragha, Suhrawardi kemudian meneruskan perjalanannya ke Isfahan, Iran Tengah, kota yang terkenal dengan keindahan alam dan keagungan lingkungannya. Di kota inilah tumbuh dan berkembangnya beragam pemikiran, Khususnya falsafah Ibn sina. Di sini, Suhrawardi belajar logika kepada Zhahir ad-Din al-Qari. Dia mempelajari logika melalui bulu Al-Basha’ir an-Nashiriyyah karya umar ibn Sahlan as-Sawi (w.540 H./ 1145 M.). As-Sawi juga di kenal sebagai pengulas Risalah ath-thair-nya ibn sina. Dari nIsfahan, Suhrawardi meneruskan petualangannya menuju Anatolia Tenggara dan ia di terima dengan baik oleh sejumlah pangeran Bani Saljuq Romawi.Suhrawardi tertarik pada ajaran dan doktrin tasawuf dan akhirnya ia menekuni mistisisme. Dalam hal ini, Suhrawardi tidak sekedar mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, akan tetapi langsung mempraktikannya sebagai sufi sejati.

Suhrawardi mengakhiri petualangannya di Syria. Dari damaskus ia kemudian pergi menuju Aleppo, Malik azh-Zhahir, putera dari Shalihuddinal-Ayyubi al-Kurdi, yang di kenal sebagai bintang perang salib. Malik Azh-Zahir sangat menghargai dan menghormati para ulama’, cendikiawan dan ahli piker. Kecenderungan malik itu menyebabkan sangat tertarik serta merasa cocok deangan cara berfikir Suhrawardi dan beliau mengundang Suhrawardi ke istana untuk menjelaskan ide-ide pemikirannya. Di depan gurbenur Allepo inilah Suhrawardi menunjukkan kepiawaianya dalam falsafah dan tasawwuf. Ketika menghadapi berbagai pertanyaan, Suhrawardi dapat memberi argumen-argumen yang jitu sehingga mampu menangkis segala serangan yang diarahkan peserta diskusi padanya.[3]

            Namun, satu hal yang amat disayangkan ialah bahwa penghormatan yang diberikan Malik azh-Zihar tidak diikuti para fuqoha pada saat itu. Kondisi religio, sosio, politik ternyata tiodak mendukung keunggulan dan kecerdasan Suhrawardi. Mereka merasa cemburu dan tersaingi dengan tempilnya filufus muda berbakat itu dan mereka pun berusaha untuk melenyapkannya. Para fuqoha’ memanfaatkan kelemahan Suhrawardi yang menyampaikan kelemahan batiniyah secara terbuka.

Suhrawardi dianggap menonjolkan unsure kebatinan dan dalam wacana teologis ia cenderung pada paham syiah, khususnya islamiyah. Malik Azh-Zhahir menyadari bahaya yang mengancam tokoh muda itu, dan membahayakan akan perlakuan yang menimpa Al-Hallaj akan terulang lagi. Oleh karena itu ia menolak tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh kalangan fuqoha’.

Setelah para ulama’ mengetahui adanya perlindungan yang diberikan oleh Malik kepada Suhrawardi. Mereka pun mengajukan tuntutan secara langsung kepada sultan Salahudin al-Ayubi yang menguasai Yaman, Mesir dan Syria. Dengan mempertimbangkan andil yang telah disumbangkan kalangan fuqoha’ kepada Negara maka salahuddin pun tidak berdaya menolaknya. Akhirnya dengan amat terpaksa Malik Az-Zahir pun melaksanakan tuntutan para fuqoha’ dan mengeksekusi Suhrawardi dengan hukuman penjara. Namun demikian, penyebab langsung dari kematian Suhrawardi tidak jelas dan masih tetap menjadi misteri. Dalam kaitan ini Zai mengatakan bahwa Suhrawardi mati dihukum gantung. Suhrawardi meninggal pada 29 juli 578 H/1191 M dalam usia 36 tahun menurut kalender syamsiyah atau 38 tahun menurut kalender Qomariyah.[4]

II.II  Filsafat As-Suhrawardi

            Suhrawardi sangat terkenal dalam sejarah filsafat islam sebagai guru Illuminasi (syaikh Al-Isroq) suatu sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri madzab baru filsafat Illuminasi(Isroqiyyah) yang berbeda dengan madzab pari patetik.

A  pengertian dan sumber sumber Israqi

kata isroq mempunyai banyak arti antra lain terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi. Tegasnya israqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambing keburukan , kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.

Lebih jauh cahaya adalah symbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan satu factor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan skunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyroqi. [5]

Suhrawardi mengatakan bahwa prinsip filsafat Isyroqiyah adalah medapat kebenaran lewat intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverikasinya secara logis-rasional. Dengan kata lain prinsip dasar illuminisme adalah mengetahui sama dengan memperoleh suatu pengalaman, suatu institusi langsung dari apa yang diketahui itu. Hanya setelan diketahui secara total, intuitif, dan langsung (immediate) pengetahuan ini dianalisis yakni secara diskursif- demonstrasional.[6]

Sehubungan dengan itu ia mengemukakan keempat tahap yang mesti ditempuh oleh setiap orang dalam proses mendapatkan pencerahan(isyraq) yaitu:

1.      tahap pertama

Dalam ahap ini seseorang harus rela membebaskan diri dari kecenderungan diri, dari kecenderungan duniawi untuk menerima pengalaman ilahi.

2.      setelah menempuh tahap pertama sang filosof memasuki tahap illuminasi yang didalamnya ia mendapatkan pengelihatan akan sinar ketuhanan serta mendapatkan apa yang disebut cahaya ilham( Al- Anwar Al-Sanihah)

3.      tahap pembangunan pengetahuan secara utuh, berdasarkan atas logika diskursif.

4.      pengungkapan atau penulisannya.

Sama seperti filsafat emanasi dalam peripatetisme yang mendahuluinya, dalam isyaqqiyah wujud mempunyai hierarki-hierarki dari yang paling atas hingga kebawa. Hanya saja kalaau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek maka dalam filsafat isyroqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya). Penggunaan cahaya untuk mengidentifikasi wujud ini setidaknya memiliki dua kelebihan. Pertama, adanya cahaya tidak perna dapat dipisahkan dari sumber cahayanya. Tidak mungkin adanya cahaya tanpa adanya sumber cahaya. Begitupun sebaliknya. Hal ini lebih tegas lagi menggambarkan kaitan alam sem,esta dan tuhan. Kedua, konsep cahaya lebih memungkinkan pengambaran konsep kedekatan (qurb) dan kejahuan (bu’d)[7]

            Pemik,iran Suhrawardi dipengaruhi oleh beberapa aliran dalam pemikiran islam yaitu:

1.      tasawwuf khususnya sebagaimana yang diungkapkan Al-Ghozali dan Al-Hallaj.

2.      peripatetisme, khususnya pemikiran Ibnu Sina. Disini sudah jelas adanya kombinasi antara pemikiran Suhrawardi dengan para filosof sebelumnya.

3.      neoplatonisme dan phytagorisme yaitu paham filsafat yunani yang lebih bersifat mistis.

4.      kepercayaan Zoroasterian Persia.

Namun tentang poin yang terakhir ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yaitu:

Pertama, Suhrawardi termasuk salah seorang filosof yang mempercayai adanya perennial wisdom, dalam arti bahwa sebetulnya hikmah (wisdom)itu bersifat perennial dan bersumber dari tuhan yang sama, yamg diturunkan lewat utusan. Dengan demikian, Suhrawardi, bahkan para filosof muslim sebelumnya, tidak alergi untuk mrngambil pemikiran dan tradisi lain-dalam hal ini yunani dan Persia

Kedua, menurut ahli filsafatyang mempelajari pemikiran Suhrawardi, sesungguhnya Suhrawardi hanya menggunakan terminology Zoroasterianisme yang dianggap cocok untuk mengembangkan pemikirannya. Karena, Zoroasterianisme mengembangkan suatu system pemikiran yang berbasis pertentangan antara cahaya dan kegelapan, sementara, fisafat wujud Suhrawardi juga berbsis kepada hal yang sama, atau pencerahan (iluminasi)[8]

 

 

B. Metafisika dan Cahaya

            Inti filsafat Illuminasionis adalah sifat dan penyebaran cahaya. Berapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya. Berdasarkan QS. An –Nur ayat 35:

* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4

  dari ayat tersebut Allah menyebut diriNya sebagai cahaya langit dan bumi.

            Cahaya yang dimaksud Suhrawardi  bersifat immaterial dan tidak bias didefinisikan, karena sesuatu yang terang tidak memerlukan definisi, dan cahaya adalah entitas yang pling terang di dunia. Bahkan cahaya menembus susunan semua entitas, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, sebagai suatu komponen yang esensial dari padanya. Karena itu esensi cahaya adalah manifestasi. Jika manifestasi adalah suatu atribut yang ditanbahkan kepada cahaya, itu berarti bahwa cahaya itu sendiri tidak memiliki kualitas dapat dilihat dan menjadi apat dilihat hanya dengan sesuatu yang lain yang sesuatu yang lain itu dapat dilihat. Dari pernyataan ini timbul konsekuenai yang mustahil yaitu bahwa sesuatu selain cahaya lebih terlihat dari pada cahaya itu. Maka itu, untuk untuk eksistensi dirinya, cahaya pertama tidak mempunyai penyebab lain diluar dirinya. Semua yang selain prinsip utama ini adalah tergantung. Dan mungkin yang bukan cahaya (kegelapan) bukanlah suatu yang khusus yang dating dari suatu sumber yang mandiri. Segala sesuatu bukan dari “cahaya murni” terdiri dari yang tidak membutuhkan substrantum, yang merupakan suptansi gelap. Sejauh benda-benda itu dapat menerima baik cahaya maupun kegelapan, bias dinamakan “ismus-ismus”. Dipandang dari dirinya sendiri, setiap ismus aalah gelap. Cahaya apapun yang dimilikinya, mustilah dari sumber luar.[9]

            Subtansi-subtansi gelap ini mempunyai sifat seperti figure dan ukuran, yang berasal dari sifat gelap yng inheren dalam suptansi gelap. Sedangkan cahaya murni bebas dari kegelapan, jadi begitu saja memahami sendiri tanpa agen diluar dirinya, sementara setiap tindakan lain dari pemahanan tergantung padanya.

 

 

C.  Epistimologi

            Suhrawardi mengkritik logika Aristoteles. Menurut Aristoteles, definisi adalah genus plus diferensia. Tapi, suhrawardi berpendapat bahwa atribut khusus hal yang tedefinisikan, yang tidak dapat dipredikatkan kepada hal lain. Suhrawari berpendapat bahwa suatui definisi yang benar menyebutkan satu demi satu suatu atribut yang esensialyang secara kolektif hanya ada pada benda yang didefinisikan itu walaupun atribut-atribut itu bias aja secara tersendiri ada pada benda lain. [10]

            Suhrawardi membahas anjang lebar masalah pengetahuan, pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan sau teori visi yang dalam beberapa hal mirip dengan psikologi Gestalt. Ia menggabungkan cara nalar dengan intuisi, dan menganggap keduanya sebagai saling melengkapi. Menurut Suhrawardi, nalar tanpa intuisi dan iluminasi adalah kekanak-kanakan, rabun dan tidak akan bias mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latian dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan bias mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis. Atas dasar itulah Suhrawardi membangun alirannya dengan mendekati paham paripatik, khususnya ditafsirkan oleh ibnu sina, dan mendekat dokrin gnoktik aliran ibnu Arabi. Karena itu untuk dapat mendalami secara lengkap sisi lengkap sisi intelektual murni filsafat transcendental, para penelaah, menurut Suhrawardi harus mengenal secara mendalam filsafat Aristoleles,logika,Matematika dan sufisme. Pikirannya harus sepenuhnya bebas dari prasangka dan dosa, sehngga ia secara bertahap bias mengembangkan indera batinnya, yang menguji dan mengoreksi apa yang di mengerti oleh pikran hanya sebagai tori. Akal yang tanpa bantuan Dzauq tidak dapat di percaya. Dzauq berfingsi menyerap misterius ata segala esensi dan membuang skeptesisme. Tetapi sisi spekulatif murni pengalaman spiritual perlu di rumuskan dan di sistematisasikan oleh pikiran yang logis (discursive thought). Jadi tujuan akhir segala bentuk pengetahuan adalah iluminasi dan ma’rifat (gnosis), yang di tempatkan oleh Suhrawardi secara tegas dan puncak hierarki pengetahuan. Hal itu tergambar dalam tulisannya Song of the Griffin (Nyanyian Griffin)   [11]

 

D. Kosmologi

            Segala yang “bukan cahaya” di sebut sebagai “kualitas mutlak” atau “Materi mutlak” . Landasan mutlak semua benda dapat di bagi menjadi dua jenis:

1.            Yang di luar ruang—atom-atom subsanti tidak terang (esensi-esensi       menurut kaum Asy’ari).

2.      Yang mesti di dalam ruang –bentuk-bentuk kegelapan, misalnya; berat, bau, dan sebagainya.

Terdapat tiga unsure dasar, yaitu, air, tanah, dan angina. Menurut orang-orang isyraqi, api hanyaklah angina yang menyala. Padauan unsur-unsur ini, di bawah berbagai pengaruh langit, mengambil berbagai bentuk, yaitu bentuk cair, gas, padat. Perubahan bentuk unsure-unsur orisinil itu membentuk proses “ membuat dan merusak” yang menembus seluruh lingkup dari yang bukan cahaya, yang menimblkan bermacam-macam bentuk esistensi yang semakin meninggi, dan yang semakin mendekatkan mereka kepada kekuatan-kekuatan penerang. Semua fenomena alam, yaiti hujan, awan, halilintar, meteor, guntur, adalah berbagai kerja dari prinsip imanen gerak ini, dan di terangkan oleh operasi langsung dan tidak lansung Cahaya pertama atas segala sesuatu, yang satu sama lainnya berbeda dalam kapasitas penerimaan banyak sedikitnya penerangan. Singkatnya, Alam semesta ialah suatu hasrat yang membantu; suatu kristalisasi kerinduan kepada cahaya.[12]  

            Dari uraian diatas jelaslah bahwa  pelimpahan dari sunber pertama(tuhan) itu bersifat abadi, terusmenerus sebab pelkunya tidak berubah-ubah dan terus ada. Sebagai konsekuensinya, alam ini juga abadi sebagai akibat dari perlimpahanNya. Dengan kata lain ada dua yang abadi, tuhan dan alam. Namun menurut Suhrawardi keduanya tetap berbeda. Tatapi apakah alam semesta itu abadi? Alm semesta adalah manifestasi kekuatan penerang yang membentuk pembawaan esensial cahaya pertama. Karena itu, sejauh alam semesta merupakan suatu manifestasi, maka hanya ia suatu maujud yang tergantung, dan akibatnya ia tidak abadi. Ada beberapa penerangan yang secara langsung abadi tetapi dapat pula redup, yang penampakannya tergantung kepada panduan sinar-sinar dan penerangan-penerangan lain. Eksistensi semua ini tidaklah abadi, dalam arti seperti eksistensi penerangan-penerangan induk yang praeksis. Eksistensi warna misalnya, bergantung bila dibandingkan dengan eksistensi sinar yang menjelmakan warna pada saat suatu benda gelap dihadapkn pada suatu benda yang bersinar. Karena itu alam semesta, meskipun tergantung pada manifestasi, abadi oleh wata abadi sumbernya. Mereka yang menganut ketidak abadian alam semesta membantah asumsi suatu induksi lengkap.

            Lebih lanjut Suhrawardi mengelompokkan alam kepda empat tingkatan yaitu:

1.      Alam akal-akal (‘Alam Al-‘Uqul). Dalam lingkungan alam akal ini berisi caaya-cahaya dominator yang jumlahnya tergantung dari initensitas pancaran dari cahaya pertama. Termasuk dalam akal ini aalah Ruh Qudus yang darinya jiwa-jiwa kita berasal, dab Rabb Thilsam. Filusuf paripatetis menyebut ala mini sebagi akal fa’al. Dalam terminologi lain Suhrawardi menyebutnya Arbab al-Anwa.

2.      Alam jiwa-jiwa(A’lam al-Nufus). Didalamnya terdapat jiwa-jiwa pengatur pelanet-pelanet langit dan tubuh-tubuh manusia. Dalam hal ini, jiwa-jiwa pelnet muncul secara langsung dri akal-akal yang tinggi, sementara Suhrawardi berpendapat bahwa jiwa-jiwa planet tersebut muncul dari Arbab Al-Anwa’ Al-Samawi, yang berasal dari hirarki cahaya atau akal-akal Horisontal.

3.      Alam bentuk (‘Alam al-Asjam). Menurut Suhrawardi ada dua macam alam bentuk; pertama, Alam bentuk unsure yng dibawa planet bulan. Kedua, Alam bentuk zat yang sangat luas yaitu bentuk-bentuk planet langit.

4.      Alam mitsal yaitu suatu alan kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.

Tiga alam diatas sudah lazim diperbincangkan filsuf sebelumnya, seangkan alam keempat ini merupakan inovasi baru yang ditemui Suhrawardi mujahadah dan musahadah secara berkelanjutan.

 

 

 

 

II.III  Karya-Karya Suhrawardi

Suhrawardi telah menulis tidak kurang dari 50 karya filsafat dan gnostik dalam yang secara bahasa Arab dan Parsia. Seyyed Hossein Nasr mengelompokkan karya-karya Suhrawardi kedalam lima bagian, yaitu :[13]

1.. Berisi pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penafsiran dan modifikasi   terhadap filsafat peripatetic. Ada empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam bahasa Arab, yaitu Talwihat (The Book of Intimations), muqawamat (The Book of oppositions), Mutharahat (The Book of Conversations), Hikmat al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of Light). Khusus Hikmat al-Isyraq merupakan karya pamungkas yang secara seimbang menggunakan metode bahsiyah dan zauqiyah, selain itu ia menganjurkan agar berpuasa 40 hari sebelum mempelajarinya sebagai persiapan dalam memperkuat batin. Pembahasan buku ini bertitik tekan pada Cahaya Tuhan, setelah sebelumnya dilakukan kritik terhadap filsafat peripatetik.

2. Karangan pendek tentang filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan , yaitu Hayakil al-nur (The Temples of Light), al-Alwal al-‘imadiyah (Tablets Dedicated to ‘tiqad al-Din), partaw-nqmah (Treatise on illumination), Fi I’tiqad al-Hukuma’ (Symbol of Faith of the Philosophers), al-lamahat (The Flashes of Light), Yazdan Syinakht (The Knowledge of God), dan Bustan al-Qulub (The Garden of the Heart).

3. Karangan pendek yang bermuatan dan berlambang mistis, pada umumnya ditulis dalam bahasa Persia,meliputi ‘Aql-I Surkh (The red archangel atau Literally Intellect), Awaz-I par-I jibra-il (The Chant of the WingofGabril), al-Ghurbat al-Gharbiyah (The Occidental Exile), Lughat-I Muran (The language of Termites), Risalah fi Halat al-Thifuliyah (Treatise on the State of Chldhood), Ruzi bajama’at-I Shufiyan (A Day with the Community of Sufis), Risalah fi al-mi’raj (Treatise on the Noctural Journey), Syafir-I Simurgh (The Song of the Griffin).

4. Komentar terjemahan dari filsafat terdahulu dan ajaran-ajaran keagamaan, seperti Risalah al-Thair (The Treatise of the Birds) Karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; Komentar terhadap kitab Isyarat karya ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah Fi Haqiqat al-‘Isyaqi, yang terpusat pada risalah ibn sina Fi al-Isyqi;serta sejumlah tafsir al-Qur’an dan Hadist Nabi.

4. Do’a-do’a, yang dikenal dengan al-Waridat wa al Taqdisat (Do’a dan penyucian).      

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

III.I  Kesimpulan

            Dalam perseektif histories setelah Ibnu Rusd tidak berhasil mempertahankan logika dan filsafat Aristotelalian dari serangan Al-Ghozali (1058-1111 M) usaha Suhrawardi yang mengkompromikan berbagai aliran pemikiran khususnya nalr diskursif dan intuitif intelektual ternyata memberikn arah baru bagi perkembangan filsafat islam.kenyataannya metode penggabungan antara filsafat dengan tasawwuf ini lebihdominan dan diikuti para peikir islam sesudhnya antara lain seperti yang ditunjukkan oleh Ibnu Arobi dn Mulla Sandra. Disisi lain, penggabungn dua nalar tersebut adalah sesuatu menarik utuk direnungkan. Dengan filsafat seseorang bisa berpikir sejauh dan seluas mungkin. Tetapi dengan adanya agama dan spiritual ia tetap terkendali dan berada dalam batas yang ditentukan. Artinya, dengan penggabungan tersebut pada saat ini pengetahuan dan teknologi mestinya bukn menadi tujuan hidup melainkan hanya sebagai sarana agar manusia sadar akan tanggung jawabnya sebagai kholifah di bumi.

            Pemikirannya tentang illuminasi di mana prosesnya terus berjaln tanpa henti, memberikan pemahaman bahwa realitas yang da sangat luas dan terbentang tanp batas. Satu-satunya yang membatasi hanyalah kegelapan, suatu wilayah yang tidak atau belum terjangkau oleh cahaya. Ini adalah gagasan yang berani memberi tantangn baru bagi pemikiran manusia, disbanding konsep emanasi Al-farobi yang berhenti pada tingkt ke12. disisi lain, konsepnya, bahw realitas cahaya yang merupakan hakikat wujud adalah satu meski berbeda-beda tingkat intensitas penampakannya, akan mengiring pada paham esensialisme. Dalam bidang teologi, konsep ini bila diterjemahkan dalam sebuah dokrin bahwa keseluruhan wujud adalah tuhan tetapi tuhan bukanlah keseluruhan wujud sehingga menjadi paham monistik.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Baqir, Haidar. 2006. Buku Saku Filsafat Islam: Bandung

Drajat, Amroeni. 2005. Kritik Falsafah Paripatetik. PT. LKIS Pelangi Askara: Yogyakarta.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. 2005. Gaya Media Pratama: Jakarta.

Soleh, Khorudi. Wacana Baru Filsafat Islam. 2004. Pustaka Pelajar: yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Amroeni drajat, Suhrawardi kritik falsafah paripatetik. Cet I. 2005. PT LKIS pelangi aksara: yogyakarta. Hal 29

[2] Ibid, hal 30

[3] Ibid, hal 33

[4] Ibid, hal 37

[5] Khoirudi solleh. Wacana baru filsfat islam. Cet I 2004. pustaka pelajar offset: yogyakarta. Hal 120

[6] Haidar Baqir. Buku saku filsafat islam. Cet II 2006. Bandung . hal 144

[7] Ibid, hal 147

[8] Ibi, hal 141

[9] Hasyimsah nasution. Flsafah Islam.2005. Gaya media pratama: Jakarta. Hal 146

[10] Ibid. hal 53

[11] ibid

[12] Ibid 160

[13]  Ibid 144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar