Senin, 25 Oktober 2010

pemikiran kiri Islam Hasan Hanafi


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Istilah Kiri Islam (al-Yasar al-Islamy) yang dimotori oleh Hasan Hanafi merupakan upaya pendewasaan makna revolusioner dari Islam, sebagai konsekuensi logis dari keberpihakannya kepada umat yang lemah dan tertindas.
Makna kiri dalam pengertian Hasan Hanafi ini merupakan sebuah gerakan revolusi moral-moral revolution govement- untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga persamaan (egalitarian) dan keadilan umat manusia sejajar satu sama lain.
Secara teologis, misi diciptakannya manusia oleh Tuhan sebagai khalifah fi al-ardl, yaitu menjadi wakil Tuhan dalam melaksanakan fungsi ketuhanan dimuka bumi. Dengan demikian, kiri merupakan kritisisme religius dalam persoalan sosial ekonomi yang berpangkal dari tataran normatif ke pro aktif min al-aqidah ila al-tsawrah (dari aqidah menuju revolusi). Secara umum, konsep kiri selalu diartikan secara politis-ideologis yang cenderung radikal, sosialis, reformis, progresif atau bahkan liberal. Dengan demikian, secara garis besar kiri selalu mengingatkan adanya progresifitas untuk menolak status quo.
Kiri Islam menurut Hasan Hanafi bersumber pada semangat revolusi tauhid sebagai basis Islam. Untuk membangaun kembali peradapan Islam, maka diperlukan upaya membangaun kembali semangat revolusi tauhid sebagai misi para nabi dan rasul. Nabi Muhammad SAW sebagai rasul terakhir mengembangkan misinya dari rumusan tauhid la ilaha illa Allah yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah.

B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana metodologi pemikiran Hasan Hanafi?
2.Bagaimana konsep Kiri Islam Hassan Hanafi?

C.Tujuan Pembahasan
1 Untuk mengetahui metodologi pemikiran Hasan Hanafi.
2. Untuk mengetahui konsep Kiri Islam Hassan Hanafi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Riwayat Hidup Hasan Hanafi
Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Hassan Hanafi, maka salah satu hal yang barangkali urgen untuk dikaji adalah kondisi dan lingkungan di mana sang tokoh dibesarkan. Tinjauan terhadap latar belakang pemikiran dan metodologi pemikiran, sangatlah penting. Pentingnya akan hal ini, karena ada keyakinan bahwa munculnya intelektual tidak bisa dinafikan dengan pola interaksi bersama lingkungannya.1 Kondisi dan lingkungan itulah pada umumnya menjadi latar belakang lahirnya frame gagasan dari seseorang. Ibnu Khaldun mengenai hal ini- lewat karya monumentalnya al-Muqaddimah memberikan ungkapan “al-Rajul Ibnu Biatihi” yang bisa diartikan bahwa seseorang adalah anak zaman lingkungannya (miliu).2 Tesis Ibnu Khaldun di atas, adalah sangat pas bila dijadikan pijakan untuk membahas, dan mengetahui serta mengetengahkan sosok Hasan Hanafi.3
Hasan Hanafi adalah filsuf hukum Islam dan guru besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi.4 Hal ini terbukti bahwa Hasan Hanafi pernah bercita-cita ingin menjadi seorang musisi.5 Menurut Hasan Hanafi, musik adalah suatu wadah untuk mengekspresikan keadaan jiwa di hati seseorang. Namun, pada perkembangan berikutnya, Hasan Hanafi bergeser cenderung ke kajian filsafat. Di dalam filsafat Romantisme, Hasan Hanafi menemukan perpaduan antara keduanya, yakni intelektualitas dan estetika. Nuansa Filsafat ini, dapat ditemukan dalam filsafat Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegard dan Bergson.6
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian Madrasah Tsanawiyah “ Khalil Agha”, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok al-Ikhwan al-Muslimin,7 sehingga paham tentang pemikiran-pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Qutb (1906-1966) tentang keadilan sosial dan keIslaman. Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, terus ke Universitas Sorbonne, Prancis, dengan konsentrasi kajian pada pemikiran Barat pra-modern dan modern.8 Progam master dan doktornya diselesaikan tahun 1966, dengan tesis berjudul Les Methders d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh dan disertasi berjudul L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux. Karena itu, meski dikemudian hari ia mengkritik dan menolak Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahannya telah mempengaruhinya.
Karier akademiknya dimulai pada 1967 ketika diangkat sebagai lektor, kemudian lektor kepala (1973), professor filsafat (1980) di Jurusan Filsafat Universitas Kairo, dan diserai jabatan sebagai ketua jurusan filsafat pada universitas yang sama. Selain itu Hanafi juga aktif memberi kuliah dibeberapa Negara, seperti di Prancis (1969), Belgia (1970), Temple University, Philadelpia, AS (1971-1975), Universitas Kuait (1979) dan Universitas Fez, Maroko (1982-1984).9 Selanjutnya, diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi penasihat progam di Universitas PBB di Jepang (1985-1987).
Di samping dunia akademik, Hasan Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan kemasyarakatan. Dia aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika dan menjadi Wakil Presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Pada 1981, dia memprakarsai sekaligus menjadi pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah al-Yasar al-Islami. Pemikirannya yang terkenal dalam jurnal ini sempat mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir disaat itu, Anwar Sadat, sehingga menyeretnya ke dalam penjara.10
Hasan Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 1980-1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelek tual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuan nya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.
B.Konsep Kiri Islam Hasan Hanafi
Konsep “Kiri” mengasumsikan sosok lawannya, yaitu kanan. Dan, kiri melontarkan ide-ide dan konsep-konsepnya dalam rangka menghadapi kanan secara khusus, meskipun masing-masing berangkat dari prinsip-prinsip epistemologis yang sama yang dilontarkan oleh teks-teks agama. Dari sudut ini, yang Kiri tergolong wilayah pemikiran keagamaan meskipun beberapa mekanisme wacana kefilsafatan mendominasi tesis-tesisnya.11
Bagi Hasan Hanafi, Kiri mengangkat posisi kaum yang tertindas, kaum miskin, dan yang menderita. Dalam terminologi ilmu politik, Kiri berarti perjuangan dan kritisisme. Kiri juga menempatkan kembali rasionalisme, naturalism, liberalism, dan demokrasi dalam khasanah intelektual Islam. Kiri dan Kanan tidak “ada” dalam Islam itu sendiri, tetapi “ada” pada tataran sosial, politik, ekonomi, dan sejarah. Bagi Hasan Hanafi, mengenalkan terminologi Kiri dan orang-orang Kiri adalah penting bagi upaya menghapus sisa-sisa imperialisme.12
Meskipun Hasan Hanafi secara langsung dan bersemangat mengkritik Barat, namun ia tidak pernah mendefinisikannya secara tuntas. Hal itu sangat dimengerti, karena Barat bagi Hasan Hanafi adalah sebuah entitas negara-negara atau entitas politik yang terkait dengan imperialisme. Dengan demikian, dalam pandangan Kiri Islam, Barat adalah sebuah agregat dari suatu kawasan, rakyat, kebudayaan, peradaban, masyarakat, dan politik yang terkait dengan penjajahan. Ia menegaskan bahwa salah satu tugas Kiri Islam adalah mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. Ini tidak berarti mengembalikan “Barat” secara geografis, tetapi menghalau segala pengaruh kultural Barat yang merasuk ke dalam rusuk umat Islam dan bangsa-bangsa muslim.13
Dalam pengkajiannya terhadap tradisi Islam, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya berkesimpulan bahwa sumber krisis dunia Islam sekarang ini adalah akibat dari tradisi Kanan Islam. Jika yang dimaksud dengan kiri adalah resistensi atau perlawanan dan kritisisme, maka kanan berarti kooptasi, pembelaan terhadap status quo, dan mengaburkan atau menyamarkan antara realitas dan identitas.
Untuk itu, dalam mengatasi krisis umat, diperlukan upaya rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian tradisi Islam yang berakar pada tradisi Kiri Islam, yang oleh Hasan Hanafi dikatakan sebagai berakar pada dimensi revolusioner khazanah intelektual. Dalam konteks ini, yang termasuk tradisi Islam Kiri atau revolusioner adalah teologi muktazilah, filsafat rasionalisme-naturalistik Ibnu Rusyd, prinsip al-maslahah al-mursalah fikih Maliki, tafsir rasional.14
Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalitas khasanah Islam klasik. Hasan Hanafi menekankan perlu rasionalisme untuk revitalisasi khasanah Islam itu. Rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian didalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejahteraan kaya, ia mengusulkan “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisa ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hasan Hanafi, dunia Islam kini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; kemiskinan; ketertindasan, dan keterbelakangan dari dalam. Kiri Islam fokus pada problem-problem era ini.15
Makna kiri dalam pengertian Hasan Hanafi ini merupakan sebuah gerakan revolusi moral—moral  revolution govement— untuk memperjuagkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga persamaan (egalitarian) dan keadilam umat manusia sejajar satu sama lain.
Inilah sesungguhnya, secara teologis, misi diciptakannya manusia oleh Tuhan sebagai khalîfah fi al-ardl, yaitu menjadi wakil Tuhan dalam melaksanakan fungsi ketuhanan di muka bumi. Dengan demikian, kiri merupakan kritisisme religius dalam persoalan sosial ekonomi yang berpangkal dari tataran normatif ke pro aktif yang dalam istilah Hasan Hanafi disebut min al-aqîdah ilâ al-tsawrah (dari akidah menuju revolusi).16
Untuk dapat memahami pengertian kiri dalam pemikiran Hasan Hanafi, perlu ditahui terlebih dahulu latar belakang penggunaan istilah kiri. Secara umum, konsep kiri selalu diartikan secara politis-ideologis yang cenderung radikal, sosialis, reformis, progresif atau bahkan liberal. Dengan demikian, secara garis besar kiri selalu menginginkan adanya progresifitas untuk menolak status quo. Ini pulalah, tampaknya, yang ingin dikembangkan oleh Hasan Hanafi melalui “kiri Islam”-nya yang dikenalkannya melalui jurnal Kiri Islam yang terbit untuk yang pertama dan terakhir.
Bila di cermati lebih lanjut, Kiri Islam-nya Hasan Hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi Kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan Kiri Islam Hasan Hanafi juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi kapitalisme dan sosialisme. Hasan Hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang materialistik dan determinisme historik. Hasan Hanafi berusaha melakukan pembebasan yang diberi ruh pendasaran religius spiritualistik (dalam hal ini adalah Islam) dengan menghilangkan materialistiknya.
Ini dilakukan supaya Islam yang sejak awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang populistik ideologi kaum tertindas yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan Hasan Hanafi yang menamakan gerakannya dengan Kiri Islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historis.17
Kiri Islam menurut Hasan Hanafi bersumber pada semangat revolusi tauhid sebagai basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka mau tak mau diperlukan upaya membangun kembali semangat revolusi tauhid sebagai misi para nabi dan rasul. Nabi Muhammad saw. sebagai rasul terakhir mengembangkan misinya dari rumusan tauhid lâ ilâha illâ Allâh yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah.
Revolusi tauhid ilahiyah merupakan konsekuensi logis yang membebaskan manusia dari penghambaan, pengultusan dan penyakralan terhadap mitos-mitos politik, ekonomi, sosial dalam struktur sosial kemasyarakatan. Sedangkan revolusi tauhid al-ummah menekankan pada aspek transformasi pembebasan kehidupan manusia dalam sistem kemasyarakatan yang tanpa dibatasi kelas, egalitarianisme dan tidak eksploratif dalam segala dimensi pada kehidupan kemasyarakatan.
Dalam hal ini  relevan sekali pandangan Murtadla Mutahhari, seorang cendekiawan Iran dalam bukunya The World View of Tawhid, bahwa pandangan dunia tauhid secara kontekstual tidak hanya memandang keesaan penciptaan sebab Tuhan tidak perlu ditolong namun lebih dalam sosial kemasyarakatan. Pandangan dunia tauhid menolak segala bentuk diskriminasi yang berdasarkan ras warna kulit, kelas, garis keturunan dan kekuasaan. Karena itu, di dituntut untuk menempatkan manusia dalam kesamaan pada prinsip egalitarianisme.
Keyakinan terhadap keesaan Tuhan harus juga diartikan sebagai keesaan kehidupan, yaitu tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan materialisme, antara yang bersifat ukhrawi dan duniawi, antara jiwa dan badan, antara langit dan bumi, dan sebagainya. Sehingga, seluruh aspek kehidupan dalam kerangka tauhid mempunyai tujuan bersatu dalam kehendak Tuhan dengan rasa ketundukan dan kepatuhan terhadap syariat Allah dalam maknanya yang luas. Dengan kata lain, pemahaman terhadap konsep tauhid harus dapat melahirkan sikap yang menegasikan superioritas manusia atas manusia lain.
Watak Islam yang transformative revolusioner ini tidak diteruskan dalam kehidupan saat ini yang global. Islam lebih dipahami hanya pada tataran normatif-formalisme. Watak ajaran Islam yang sebenarnya justru kehilangan elan vitalnya. Apalagi menghadapi globalisasi yang melahirkan agama baru bernama developmentalisme. Maka dari itu, umat Islam dituntut merekonstruksi terminologi Islam dari tataran teologi ke pro-aksi, atau implikasi keberagamaan dan keberimanan pada tindakan sosial.
Dengan adanya developmentalisme tersebut, masyarakat kapitalisme yang diwakili Barat berusaha untuk menciptakan ketergantungan masyarakat Islam. Sehingga secara perlahan namun pasti, masyarakat Islam akan terjajah secara kultural. Masyarakat Islam pada akhirnya tidak akan mampu melakukan apresiasi otonomi terhadap ajaran dan struktur tindakannya sendiri. Masyarakat Islam secara tidak sadar akan terkooptasi.
Berdasarkan realitas tersebut di atas, maka menurut Kiri Islam, sumber kebodohan dan keterbelakangan umat Islam sesungguhnya merupakan hasil dari bentukan tradisi umat Islam itu sendiri dan sebagai akibat dari hegemoni peradaban Barat. Karena itu, Hasan Hanafi sangat memperhatikan tradisi atau sejarah umat Islam dan peradaban Barat sebagai suatu peradaban atau ideologi yang dominan.
Penerapan modernisasi pada umat Islam berarti sama dengan mensubordinasikan Islam ke dalam hegemoni Barat. Karena hegemoni adalah universalisasi atau totalisasi seluruh lapisan dan kelompok masyarakat hingga menganut satu ideologi tertentu. Maka hegemoni Barat atas umat Islam berada pada sistem ideologi Barat, yaitu kapitalisme. Inilah penyebab keterbelakangan umat Islam dewasa ini.
Memang gerakan transformasi Kiri Islam biasa menganalisis kapitalisme dunia dan banyak memfokuskan perhatiannya pada persoalan-persoalan ekonomi-politik, dengan asumsi sebagai upaya daya pendorong dari perkembangan sejarah dunia. Selama masyarakat Muslim masih terintegrasi dengan kapitalisme global, maka cita-cita Islam akan sulit dicapai. Pelaksanaan kapitalisme di dunia ketiga umumnya masyarakat Muslim yang berbentuk modernisasi atau pembangunan, ternyata menimbulkan persoalan yang kompleks.18
Dunia Islam saat ini telah terkooptasi oleh Barat, baik sistem, kepentingan, struktur maupun kultur. Hal ini sebagai dampak kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat Islam punya ketergantungan yang sangat besar terhadap Barat. Dunia Barat berusaha mencaplok kultur Islam, termasuk tentang Islam itu sendiri. Barat mengupayakan pemahaman Islam versi Barat, supaya dapat diterima oleh dunia Islam. Itulah cara Barat untuk mencabut lebur akar sejarah Islam dari sumber aslinya, Alquran dan Hadits.
Melihat hal tersebut, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam adalah: Pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya. asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar Barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai objek kajian, yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
C.Metodologi Pemikiran Hassan Hanafi
Dalam pembahasan metodologi pemikiran seorang Hasan Hanafi, akan dikemukakan terlebih dahulu metodologi yang mempengaruhi pemikirannya secara umum, hal ini dilakukan agar didapatkan gambaran teoritisnya. Hal tersebut mencakup empat hal : 1) Tradisi Pemikiran Filsafat Marxisme melalui Metode Dialektika, 2) Metode Hermeneutika, 3) Metode Fenomenologi dan 4) Metode Eklektik.19
1.Metode Dialektika
Hasan Hanafi adalah salah seorang pemikir Arab yang sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat Materialisme Historis.20 Dengan metode dialektika,21 Hasan Hanafi bermaksud mengadakan sistematisasi dan penyatuan semua aspek pengetahuan dan pengalaman kemudian menyusunnya ke dalam satu keutuhan yang inklusif. Pemikiran Hasan Hanafi dalam hal ini bisa disebut marxis22 walaupun tidak harus menjadi marxisme.23
Hasan Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai metode untuk melihat sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dengan bantuan metode dialektika historis dari Marx, Hasan Hanafi mencoba melihat kembali sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dalam artikelnya "Fundamentalisme dan Modernitas", dia menunjukkan bahwa gerakan Islam zaman sekarang merupakan tahap sejarah yang ketiga dari sejarah kebudayaan Islam, di mana massa harus bangkit atas dasar imannya. Kemudian Hasan Hanafi menggunakan dialektika untuk menggagas teologi sebagai antropologi yang merupakan cara "ilmiah" untuk mengatasi keterasingan teologi itu sendiri.24
Cara ini dilakukan Karl Marx terhadap filsafat Hegel. Menurutnya dialektika Hegel berjalan pada kepalanya, artinya; agar dialektika itu bisa dipahami dengan benar, ia harus diletakkan di atas kakinya. Dengan dialektika materialnya, Marx mengajak untuk menjadi normal lagi, yaitu berjalan dengan kaki.25 Upaya Hasan Hanafi dalam artikelnya “Ideologi dan Pembangunan," lewat sub-sub judul: dari Tuhan ke bumi, dari ke abadian ke waktu, dari takdir ke kehendak bebas, dari otoritas ke akal, dari teori ke tindakan, dari karisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dan dari eskatologi ke futurologi. Cara yang sama mengenai hal ini juga diarahkan kepada sufisme yang dinilai pasif, yaitu: dari jiwa ke tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke politik sosial, dari meditasi menyendiri ke tindakan terbuka, dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif, dari kondisi-kondisi psikologis ke perjuangan sosial, dari vertikal ke horizontal, dari langkah moral ke periode sejarah, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata.26
2. Metode Hermeneutik
Hermeneutik merupakan salah satu tema penting dalam pemikiran Haqsan Hanafi. Bahkan ia menjadi bagian integral dari wacana pemikirannya baik dalam filsafat maupun teologi untuk memahami suatu teks.
Hasan Hanafi memiliki tiga karya besar yang terkait dengan hermeneutik, yaitu: (1) Les Methodes d’Exegese Essai sur la Science des Fondaments de la Comprehension, ‘Ilmu Usul al-Fiqh (1965). (2) L’`Exegese de la Phenomenologie (1966). (3) La Phenomenologie de L 'Exegese, Essai d'une Hermeneutique Existensialle a Partir du Neuveau Testament (1967). Karya yang pertama menjelaskan tentang hermeneutik sebagai metode rekonstruksi Ilmu Ushul al-Fiqh, sementara karya kedua menerangkan tentang hermeneutik fenomenologi untuk menafsirkan fenomena keagamaan, dan karya ketiga menjelaskan tentang studi kritis pada hermeneutik eksistensial dalam konteks penafsiran Perjanjian Baru.27
Hasan Hanafi adalah salah seorang di antara tokoh yang menggunakan hermeneutik sebagai metodologi untuk memahami al-Qur'an.28 Hermeneutik yang dikembangkan Hasan Hanafi dipengaruhi oleh hermeneutik kontemporer Barat. Hermeneutik sebagaimana dijelaskan di atas, berkaitan erat dengan masalah pemahaman dan interpretasi.29 Menurut Hasan Hanafi, bahwa proses pemahaman dewasa ini hanya menduduki tempat kedua. Yang pertama adalah kritik kesejarahan, yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah, yang berarti bahwa tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis asli. Di sinilah hermeneutik muncul sebagai ilmu pemahaman dalam artinya yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci itu. Dan yang ketiga, yakni setelah mengetahui arti yang tepat dari teks tersebut, adalah kritik praksis yakni proses menyadari arti dalam kehidupan manusia yang hal ini bagi Hasan Hanafi merupakan tujuan akhir wahyu Allah.30
Dalam bahasa fenomenologis, hermeneutika menurut Hasan Hanafi dapat dikatakan sebagai ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran-kesadaran dengan objeknya, yaitu kitab suci. Kesadaran pertama, yaitu memiliki kesadaran historis, yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya. Kesadaran kedua, yakni memiliki kesadaran eidetik, yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional. Dan kesadaran yang ketiga, adalah kesadaran praksis yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya, yakni dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia.31
Pemikiran-pemikiran Hasan Hanafi mengenai hermeneutika pada dasarnya tidak bisa dilepaskan sama sekali dengan realitas kondisi Arab. Kajian mengenai Kiri Islam misalnya, merupakan (tanpa disadari) respon sadar Hasan Hanafi terhadap situasi Arab kontemporer dengan segala pemikiran dan ideologi-ideologi yang berkembang di dalamnya. Hasan Hanafi meyakini bahwa suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran. Oleh sebab itu ia mengatakan bahwa “….setiap teks berangkat dari pemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsir dalam teks.”32
Hermeneutik atau usaha penafsiran terhadap teks redaksi kitab suci merupakan kegiatan produktif dan bukan reproduksi makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks eksistensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, yakni bahwa teks maupun penafsiran selalu memiliki nilai historisnya sendiri-sendiri.
3. Metode Fenomenologi
Gerakan peradaban dan kebudayaan Hasan Hanafi sangat dipengaruhi oleh ketajaman analisa pemahaman terhadap realitas. Realitas bagi Hasan Hanafi adalah realitas masyarakat, politik dan ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat. Keberhasilan mencapai cita-cita revolusi Islam tergantung pada kecermatan menganalisa realitas-realitas. Untuk menganalisa realitas-realitas tersebut dan untuk memetakan semuanya, ia menggunakan metode Fenomenologi.33 Hasan Hanafi mengakui pentingnya menggunakan metode fenomenologi ini sebagai pilihan metodologi yang tepat. Mengenai hal ini ia mengatakan bahwa “..phenomenological method is chosen as the most suitable methode to study such subjects…”.34
Dengan metode ini, Hasan Hanafi bercita-cita agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Metode fenomenologi Hasan Hanafi tidak lepas dari pengaruh Edmund Husserl, karena itu pembahasan fenomenologi sebagai sebuah metode akan ditemukan akarnya pada filsafat fenomenologi Husserl.35
Metode fenomenologis ini sangat besar pengaruhnya terhadap Hasan Hanafi. Bahkan pendekatan ini juga digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu sosial dan matematika. Hasan Hanafi dalam menggunakan metode fenomenologinya kebanyakan diarahkan untuk memahami realitas, yaitu realitas masyarakat, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat.36
4. Metode Eklektik
Eklektik dalam bahasa Inggrisnya adalah eclecticism. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ek (keluar) dan lego (pilih, pilah).37 Maka eklektik yang berasal dari kata Yunani yaitu ekletikos yang bermakna seseorang yang memilih, dan dari eklegein, berarti mengambil, memilih dari.38 Eklektik adalah filsafat atau teori yang tidak asli, tetapi memilih unsur-unsur dari berbagai teori atau sistem.
Selanjutnya pembahasan mengenai karakteristik filsafat eklektik, sebenarnya memiliki beberapa pengertian yang mencakup :39
a.Sikap yang condong berfilsafat dengan seleksi. Dalam seleksi itu ada upaya untuk menyelaraskan apa yang benar dari semua filosof, sambil membuang ajaran-ajaran yang keliru.
b.Memilih gagasan atau ide-ide (konsep kepercayaan doktrin) dari berbagai sistem pernikiran dalam proses menyusun dan mengembangkan sistem pemikiran sendiri.
c.Pemilihan dari berbagai mazhab pemikiran yang dipandang bernilai sehingga dari keberagaman itu dibentuk sebuah kesatuan sistem yang dapat diterima. Para filosof dengan sikap macam mem~batasi usaha berfikirnya dengan menguji hasil karya intelektual orang lain. Mereka mencomot apa yang dinilainya benar dan bernilai. Dalam mencomot itu tidak terdapat suatu usaha filosofis yang serius untuk mengadakan penggabungan kebenaran-kebenaran itu ke dalam suatu usaha keseluruhan yang terpadu.
d.Eklektisisme mengarah kepada sinkretisme. Orang yang eklektik (eklektikawan) cenderung percaya dan beranggapan bahwa penggalan-penggalan (bagian bagian) ide yang dipilih serta digabungkan dari berbagai aliran filsafat (atau filosof) itu merupakan yang terbaik.40
Metode eklektik ini, dipakai oleh Hasan Hanafi untuk membangun pemikirannya, yakni dengan cara memilah-milih pemikiran suatu madzhab seperti kecenderungan Hasan Hanafi pada teologi mu'tazilah (teologi), filsafat Ibnu Rusyd (filsafat), dan fikih Hanbali (Fikih). Dengan demikian pilihan terhadap model-model pemikiran di atas adalah sesungguhnya diorientasikan dalam kerangka membangun ideologi gerakan yang transformatif.
D.Karya-Karya Hassan Hanafi.
1.Karya dalam Bentuk Buku
Abu al-Husain al-Basri: al-Mu’tamad fi Usulul Fiqh. (2 Jilid). (Damsyiq: Al-Mu’tamad al-Farinsi. 1953-1965)
Al-Hukumah al-Islamiyyah li Al-Imam al-Khumaini. (Kairo: 1979)
Jihad al-Nafsi Aw al-Jihad al-Akbar al-Khumaini (Kairo: 1980)
Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi al-Nahdah al-Islamiyah (Kairo:1980)
Namazij Min al-Falsafah al-Misriyyah: Augustin, Anselm, Thomas, Aquinas, I. Cet I. (Kairo: 1968.), (Iskandariyyah: Dar al-Kutub al-Jami’ah), Cet II. (Kairo: al-Anglo al-Mishriyyah). Cet III ( Beirut: Dar al-Tanwir, 1981).
Spinoza : Risalah fi al-Lahut wa al-Siyasah. (Kairo: al-Haiah al-Anah li al-Kitab, 1972), cet II (Kairo: al-Anglo al-Mis}riyah, 1973), cet III (Beirut: Dar al-Tanwir, 1981).
Leibniz: Tarbiyyah al-Jinsi al-Basari wa Amal Ukhra. Cet I (Kairo: Dar al-Isagahah, 1977), cet II ( Dar al-Tanwir, 1981).
Jean Paul Sarte: Ta’ali al-Ana Maujud, (Kairo: Dar al-Isagafah, 1977) cet II (Beirut: Dar al-Tanwir, 1982)
L’Exegese dela Phenomenologie L’ etat Actuel de la methode Phenomenologique at Son Application an Phenomena Religicex, Paris, 1980.
Al-Muslimin fi Asiya, Kairo, 1980.
Al-Juzur al-Tarikhiyyah li Azmah al-Hurriyah wa Dimuqratiyyah fi Wijdamina al-Arabi, Kairo, 1979.
Qadaya Mu’asirah fi Fikrina al-Mu’asirah, Jilid I+II, cet I (Kairo: Dar al-Fikri al-Arabi, 1987)
Dirasah Islamiyyah. Cet I (Kairo: al-Anglo al-Misriyyah, 1981), cet II, (Beirut: Dar al-Tanwir, 1982)
Al-Turas wa al-Tajdid: Mauqifuna Min al-Turas al-Qadim, cet.I, (Kairo: al-Markaz Li al-Bahs)
Dirasah Falsafiyyah, (Kairo: 1987)
Min al-Aqidah Ila al-Saurah fi Misra, (Kairo: 1988)
Al-Din wa al-Saurah fi Misra, (Kairo: Maktabah al-Madbuli, 1989), 8 Jilid.
Al-Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istig}rab, (Kairo: Dar al-Faniyyah, 1991).
Religious Dialogue and Development, (Kairo: 1988)
Religious Dialogue and Revolution: Essays on Judaism, Christianity & Islam, Kairo:Anglo Egyptian Bookshop, 1977.
2.Karya dalam Bentuk Artikel
a. Theology, Ideology and Development.
From Faiter to Revolution, Cordoba, Spain, 1985.
Ideology and Development, Cincinati, Ohio, USA, 1982.
Mysticism and Development, Paris, Prance, 1985.
The Revolution of The Transcendence, Tokyo, Japan, 1987.
b. A Case Study, Egypt 1952 – 1978.
The Genesis of a Scular Ideology, Luxor, Egypt, 1979.
Religion and Development, Cairo, Egypt, 1979.
Religion Factor and Incom Districsim, Portugal. 1979.
c. Religion, Nature and Science.
Human Subsevience of Nature, Stocholm, Swedan, 1980.
The Grenery Between Islamic Tradition and Necessities in Egypt to day, Osaka, Japan, 1986.
Culture Science and Tekhnology, Stocholm, Swedwen, 1981
Philosophy of Space, Tokyo, Japan, 1977.
Phenomenology of Medicenc, Kuwait, 1982.
New Social Science, Tokyo, Japan 1987.
Science, Technology and Spiritual Values: An Islamic Approach, Tokyo, Japan, 1987.
d. Islamic Fundamentalism.
On Correction, The Origin of Violence in Contemporary Islam, Bali, Indonesia, 1986.
The Origin of Modern Conservation in Islamic Fundamentalism, Amsterdam, Holland, 1979.
The Relevence of Islamic Alternative in Egypt, Boston, USA, 1981.
From a glorious Past to a Hopeful Future, Khartoum, Sudan 1978.
e.Islamic and World Crisis.
Morality and The Integrity of Islamic Society, Durham, New Hampshire, USA, 1980.
Fact and Values, An Islamic Approach. Amsterdam, Holland, 1985.
Islam and Judism, A Modal from Andalusia, Paris, France, 1985.
Tradition and Civilizational Reinassance, Kuait, 1981.
Islamic Response to Valve Crisis. Tsukuba, Japan, 1982.
From Decolonization to Cultural Liberation, New Delhi, India, 1981.
The Preparation of Scienties for life in Peach; An Islamic Prespective. Osaka, Japan 1980.
The Global Ethnics and Human Solidarity: An Islamic Approach. Tokyo, Japan 1987.

KESIMPULAN
Hasan Hanafi adalah filsuf hukum Islam dan guru besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi. Hal ini terbukti bahwa Hanafi pernah bercita-cita ingin menjadi seorang musisi. Menurut Hanafi, musik adalah suatu wadah untuk mengekspresikan keadaan jiwa di hati seseorang. Namun, pada perkembangan berikutnya, Hanafi bergeser cenderung ke kajian filsafat. Di dalam filsafat Romantisme, Hanafi menemukan perpaduan antara keduanya, yakni intelektualitas dan estetika. Nuansa Filsafat ini, dapat ditemukan dalam filsafat Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegard dan Bergson.
Bagi Hasan Hanafi, Kiri mengangkat posisi kaum yang tertindas, kaum miskin, dan yang menderita. Dalam terminologi ilmu politik, Kiri berarti perjuangan dan kritisisme. Kiri juga menempatkan kembali rasionalisme, naturalism, liberalism, dan demokrasi dalam khasanah intelektual Islam. Kiri dan Kanan tidak “ada” dalam Islam itu sendiri, tetapi “ada” pada tataran sosial, politik, ekonomi, dan sejarah. Bagi Hasan Hanafi, mengenalkan terminologi Kiri dan orang-orang Kiri adalah penting bagi upaya menghapus sisa-sisa imperialisme.
Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalitas khasanah Islam klasik. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam.
Dalam pembahasan metodologi pemikiran seorang Hasan Hanafi, akan dikemukakan terlebih dahulu metodologi yang mempengaruhi pemikirannya secara umum, hal ini dilakukan agar didapatkan gambaran teoritisnya. Hal tersebut mencakup empat hal : 1) Tradisi Pemikiran Filsafat Marxisme melalui Metode Dialektika, 2) Metode Hermeneutika, 3) Metode Fenomenologi dan 4) Metode Eklektik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Rahmena Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996
AH. Ridwan Revormasi Intelektual Islam, Yogyakarta: ittiqa Press, 1998
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, Jakarta: Rajawali, 1986
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1993
E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Yogykarta: Kanisius, 1993
Hasan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad Irsyadi, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003
Hasan Hanafi, Oksidentalisme Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Terj. M.Najib Buchori, Jakarta: Paramadina, 2000
Hanafi, ad-Din wa as-Sayrah fi Misri Mesir: Maktabah Madbuli, 1952
Hasan Hanafi, Ideology and Development, Ohio: Cincinnati, 1982
Hanafi. “Tasawuf dan Pembangunan”, dalam Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M, 1991
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, Religious Dialogue & Revolution Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Hasan Hanafi, Bongkar Tafsir: Liberasi, Revolusi, Hermeneutika, terj. Jajat Hidayat Firdaus, dkk, Yogyakarta: Prisma Sophie Pustaka Utama, 2003
Hassan Hanafi, “Multilaterelism : An Islamic Approach”, dalam Islam in the Modern World. Tradition, Revolution and Culture. Vol. II, Egypt: Dar Kebaa Bookshop, 2000
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Hasan Hanafi, Islamologi II: Dari Rasionalisme ke Empirisisme, terj. Miftah Faqih, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2004
Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui : Sya’ir Agama dalam Bahasa Melayu dari Abad 19, Semarang: LP3M IAIN Walisongo, 1985
Kzuo Shimogaki, Kiri Islam, Yogyakarta: LKiS, 1994
K. Bertens. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1983
Lorens Bagus. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996
Lutfi Saukani, Oksidentalisme: Kajian Barat Setelah Kritik Oriantalisme, jurnal Ulumul Qur’an Vol V, 1994
Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama. Yagyakarta, LKiS 2003
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Taufiq Ramdhani, “Konsep Dialektika Ego dan The Other dalam gagasan Oksidentalisme Hassan Hanafi,
http//kritik-terhadap-hasan-hanafi.html
http//Hasan Hanafi Idea Islam Kiri « ummahonline.com.html

kritik terhadap sains modern dalam filsafat sains perspektif Al-Quran

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Rasa keingin tahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam asusmsi awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci, dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan.
Seiring dengan berkembangnya kehidupan manusia, ilmu pengetahuan hampir mencapai puncaknya, termasuk perkembangan teknologi berjalan begitu cepat. Namun, akar dari pengetahuan yang tidak sejalan dengan iman akan selalu berjalan bebas tanpa nilai dan tujuan. Materi menjadi tujuan semu, surga baru, dan bahkan tuhan baru. Gaya dan trend menjadi ukuran kemajuan, lalu identitas diri menghilang ditelan dunia modern. Sebuah kerusakan moral yang sangat kronis, menjadi nilai akhir dari epistemologi yang salah. Paham rasionalisme dan empirisme sangat mengakar di alam ilmu pengetahuan modern. Mereka memandang bahwa sumber utama dan penguji akhir ilmu pengetahuan adalah akal atau rasio (rasionalis) dan indera atau pengalaman (empiris).
Pengembangan ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain. Pemuasan dahaga manusia terhadap rasa keingintahuannya seolah tak berujung dan menjebak manusia ke lembah kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Karena kenetralan ilmu pengetahuan atau sains hanyalah sebatas metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya diperlukan adanya nilai-nilai moral.
Meski membawa kemajuan yang menakjubkan, pemikiran dan sains modern (barat) ternyata juga mengandung dampak negatif yang besar. Karena diadopsi dari berbagai sumber yang beragam dan saling bertentangan serta tidak didasarkan atas ajaran wahyu, pengetahuan Barat akhirnya melahirkan ketegangan batin dan menjauhkan manusia dari Tuhan, bahkan menjauhkan dari nilai-nilai kemanusiaannya sendiri. Model pengetahuan seperti itu samasekali tidak bisa digunakan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan, apalagi problem masyarakat muslim. Oleh karena itu perlu kiranya untuk membangun ilmu pengetahuan yang berasaskan nilai-nilai keislaman dan berpedoman kepada Al-Qur’an. Sehingga, Al-Quran dan Sains telah menjadi penggerak utama manusia untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Adapun pemberdayaan Iptek menurut Islam adalah bagaimana mewujudkan kemakmuran bagi umat manusia. Karena itu pemanfaatan Iptek tidak boleh dipisahkan dari agama. Bahkan harus sejalan dengan moralitas dan etika Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah landasan filosofis sains modern?
2. Bagaimanakah kritik terhadap sains modern dalam filsafat sains perspektif Al-Quran?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimanakah landasan filosofis sains modern.
2. Bagaimanakah kritik terhadap sains modern dalam filsafat sains perspektif Al-Quran.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Filosofis Sains Modern
Pada milanium ke-3 perkembangan ilmu pengetahuan (sains) dihampir semua bidang kajian berlangsung secara mengesankan. Namun, kemajuan diberbagai bidang sains ini mayoritas mesih dipelopori oleh para ilmuan dan cendekiawan Barat dan karenanya menjadikan sains dalam kerangka filosofis pemikiran mereka yang sekuler, pragmatis, positvistik dan materialistik. Paradigma pemikiran ini pada gilirannya akan mempengaruhi konsep interpretasi, makna-makna dan idiom-idiom ilmu pengetahuan. Filsafat sekuler tidak hanya kontradiktif dengan fitrah manusia bahkan juga dapat menyebabkan ilmu pengetahuan tercabut dari akar-akar dan tujuan utama kelahirannya. Oleh karena itu konsepsi ilmu pengetahuan barat yang berlandaskan filsafat positivistik tersebut telah menimbulkan beberapa masalah mulai dari krisis moral, spiritual hingga krisis lingkungan.
Kekeliruan paling mendasar dari sains modern dapat dipandang dari aspek ontologi, terkait tentang yang ada (being) sebagai objek kajian dalam sains. Dalam konteks ini sains modern hanya membatasi diri pada obyek-obyek empiris, fisik, materi dan eksternal. Dengan kata lain sains modern hanya akan berurusan dengan obyek-obyek yang teramati oleh indra. Hal-hal abstrak yang diluar jangkauan panca indra dan pengalaman manusia dianggap bukan urusan sains, dengan demikian, berdasarkan perspektif positvisme tersebut sifat utama sains modern adalah berorientasi pada fenomena empiris. Sedangakan hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, meskipun sebenarnya ada seperti Tuhan, ruh/jiwa, malaikan dan seterusnya dikeluarkan dari wilayah kajian sains.
Dalam aspek epistemologi, yaitu bagaimana seorang dapat memperoleh pengetahuan yang benar. Secara epistemologis, sains Barat barat hanya membenarkan pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method), dengan melibatkan proses verifikasi dan pengukuran secara sistematis, verbal dan empirisnya. Mereka memandang metode ilmiah dalam pengertiannya yang positvistik, sebagai satu-satunya jalan untuk mengetahui atau memperoleh ilmu pengetahuan. Berdasarkan anggapan itu, sains modern dengan demikian menolak secara tegas metode-metode lain sebagai cara yang absah untuk memperoleh ilmu pengetahuan sedangkan Islam merekomendasikan penggunaan berbagai cara untuk mencapai ilmu pengetahuan seperti observasi, eksperimen, intuisis, dan pemikiran rasional. Sumber sains modern yang berlandaskan positvisme dan materialisme hannya terpaku pada fenomena alam atau realitas empiris dan menolak wahyu sebagai sumber pengatahuan. Sedangkan dalam Islam disamping fenomena alam, wahyu (Al-Qur’an dan hadits) juga merupakan sumber ilmu.
Nilai-nilai wahyu akan membawa ilmu pengetahuan ke jalan kebenaran sejati. Ia harus dijadikan pijakan dan begitu juga sebagai penguji akhir ilmu pengetahuan. Menguji apakah ilmu pengetahuan tersebut sesuai dengan nilai-nilai wahyu atau tidak. Misalnya teori evolusi darwin tentang asal usul manusia, ketika terjadi kontradiksi dengan wahyu yang mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai manusia tanpa proses evolutif, kita harus bersikap tegas kepada sesuatu yang jelas bertentangan dengan nash al Qur'an. Inilah sejatinya epistemologi Islam yang harus dibangun, mewujudkan ilmu pengetahuan yang bernilai bagi kemajuan dan moral umat manusia.
Kesalahan dan kerancuan yang lebih mendasar dari filsafat positvistik dapat ditinjau dari sudut pandang akseologi, aksiologi yaitu ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai secara umum dengan menggunakan sudut pandang kefilsafatan. Dengan kajian aksiologi ini kita akan dihadapkan pada pilihan moral tatkala mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Para ilmuan ketika dihadapkan pada pilihan moral pada saat menerapkan teknologi terbelah menjadi dua kelompok.
1. Mereka yang berpandangan bahwa sains bernilai objektif dan merupakan upaya yang bebas nilai, yakni bersifat netral terhadap agama dan ideology. Mereka meinginginkan ilmu harus netral terhadap nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Tugas ilmuan hanya menemukan pengetahuan, sedangkan penerapannya terserah kepada pemakai.
2. Golongan yang berpendirian netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik kelimuan, sedangkan pada tingkat penggunaan atau bahkan pada tingkat pemilihan objek, penelitian harus disandarkan pada asas-asas moral.
Sains tanpa nilai-nilai moral benar-benar akan membawa kejurang kehancuran yang massif. Sedangkan tujuan sains menurut pandangan Islam, disamping untuk memperoleh manfaat hidup di dunia juga untuk memenuhi kebutuhan ruhani, moral dan spiritual demi kebahagiaan di akhirat yang merupakan tujuan utama dalam menjalani kehidupan.

B. Kritik Terhadap Sains Modern Dalam Filsafat Sains Perspektif Al-Quran
1. Ontologi: Pandangan Al-Qur’an Terhadap Alam Semesta
Ontologi merupakan salah satu objek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang realiatas yang ada (being), baik merupaka wujud fisik (al-tobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-tobi’ah). Upaya penelaahan dan pemahaman terhadap hakikat alam semesta dan yang terkait didalamnya muncul sejak zaman Yunani kuno. Thales (631-550 SM), bapak filsafat Yunani, misalnya, telah maneliti asal muasal kejadian alam semesta dan berkesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari air. Sepuluh abad berikutnya Al-Qur’an memberikan informasi dan menegaskan, bahwa segala sesuatu diciptakan dari air: “Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air” (QS. Al-Anbiya’, 21:30). Kemudian diteruskan oleh filosof-filosof sesudahnya, Anaximandros (610-546 SM), Anaximenes (585-528 SM), dan Heraklitus (540-475 SM), yang akhirnya dikenal dengan filosof Ionian school (al-Madrasah al-iyuniyyah). Ditangan merelakah ditemukan empat elemen bumi yaitu air, api, udara dan tanah. Atas dasar itulah realitas al-maujud dalam perspektif Islam juga meliputi fisika dan metafisika. Hanya, dalam diskursus filsafat Islam lebih banyak menyentuh masalah metafisika, terutama bagian ketuhanan dan hubungannya dengan penciptaan alam semesta, sehingga filsafat dalam Islam disebut juga sebagai filsafat ketuhanan (Illahiyah) atau filsafat pertama, karena menyentuh pembahasan tentang Allah sebagai sebab pertama (causa prima). Adapun wilayah fisika terkait dengan ilmu-ilmu kealaman, seperti kedokteran, ilmu alam, eksakta, astronomi, dan lain-lain, yang dimasa klasik Islam juga menjadi keahlian para filosof Islam.
Lebih dari itu Al-Qur’an memandang alam semesta sebagai ciptaan Tuhan dengan menggunakan kata dasar al-Khalq. Istilah ciptaan, yang berarti makhluk dan terulang sebanyak 57 kali dalam Al-Qur’an ini adalah kata serupa yang digunakan untuk mengungkapkan prilaku penciptaan itu sendiri, yakni khalaqa, yang menunjukkan proses kejadian alam semesta yang tunduk kepada hukum-hukum kausalitas, yang tidak tunduk kepada perubahan dan pergantian (tahlil: tabdil), sebagaimana yang dinyataka oleh Al-Qur’an: “Dan kamu tidak akan menemukan sesuatu perubahan dalam ciptaan Allah” (QS. Fathir, 35:43) .
Sebagian besar literatur yang berhubungan antara agama (baca: Islam) dengan ilmu pegetahuan menekankan:
1. Agama dimulai dengan keyakinan dan atau kekaguman, sementara ilmu pengetahuan dimulai dengan keraguan.
2. Kebenaran ilmu bersifat relatif dan positif sementara kebenaran agama bersifat absolut atau mutlak.
3. Kebenaran ilmu dirai dengan eksperimental, sementara kebenaran agama dari Allah SWT.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (antara lain, QS 16:78). Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak dapat kamu melihat mereka (QS 7:27) .

2. Epistemologi: Konsep Al-Qur’an tentang Pengetahuan
Sains modern pada umumnya diyakini dapat membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia dimanapun berada tanpa memandang ras, agama, kepercayaan maupun batas teritorial, semua orang akan bersentuhan dengan sains. Umat Islam sebagai bagian dari umat manusia juga turut terlibat, berapresiasi, dan menikmati buah dari kemajuan sains.
Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, idealisme atau lebih populer dengan istilah rasionalisme, yaitu sebuah aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal, idea, category, dan form sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pada aliran ini peran panca indra dinomorduakan. Sedangkan aliran kedua adalah realisme atau empirisme yang lebih menekankan peran indra dan realitas sebagai sumber pengetahuan, sehingga peran akal dinomorduakan.
Epistemologi barat mengagungkan skeptisisme dan meragukan segala sesuatu tersebut menurut Naquaib, menyebabkan ketegangan batin yang pada gilirannya membangkitkan keinginan takpernah terpuaskan untuk mencari dan memulai suatu perjalanan untuk mencapai penemuan demi penemuan. Pencarian ini tidak pernah terpuaskan karena keraguan senantiasa selalu menguasai sehingga apa yang dicari tidak pernah ditemuakan dan apa yang ditemuai tidak pernah memuaskan. Artinya, epistimologi skeptisisme yang diangungkan barat, sesungguhny, tidak bisa mengantarkan kepada kebenaran dan kenyataannya tidak ada bukti bahwa keraguan bisa mengantarkan kepada kebenaran, sebaliknya ia justru menyebabkan kebenaran tertutup dalam perdebatan dan percekcokan tanpa akhir.
Dalam pandangan Naquaib, kebenaran hanya bisa dicapai oleh hidayah, bukan keraguan. Keraguan adalah pergerakan anatara dua hal yang saling bertentangan tanpa ada kecenderungan dengan salah satunya. Penolakan hati terhadap yang lain ini bukan merupakan tanda keraguan terhadap kebenarannya, namun merupakan pengenalan posistif terhadapa kesalahan atau kepalsuannya. Keraguan, baik bersifat pasti atau sementara membawa kepada dugaan atau kepada posisi ketidak pastian yang lain dan tidak pernah pada kebenaran. Yang ditolak adalah sekeptisisme keilmuan barat yang sampai mengorbankan atau mengabaikan nilai-nilai sosial dan kultural.
Al-Qur’an memberi perhatian yang cukup besar terhadap ilmu (al-ilmu) dan pengetahuan (al-ma’rifah) yang secara makro dipandang sebagai kalimat Tuhan sebagaimana difirmankan: “katakanlah seandainya lautan dijadikan tinta (untuk menulis) kalimat Tuhanku, sesungguhnya lautan itu akan habis sebelum kalimat Tuhanku habis, meskipun kami datangkan lautan yang serupa lagi” (QS. Al-Kahfi, 18:108). Bahka ditempat lain Al-Qur’an menempetkan orang-orang yang berilmu dalam kedudukan yang tinggi. Seperti ayat: “Pasti Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah, 58:11); “Katakanlah! “apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang-orang yang berakal-lah yang senantiasa mengingat” (QS. Al-Zumar, 39:9) .
Dari penjelasan beberapa ayat Al-Aqur’an diatas, dapatlah ditarik sebuah kata kunci untuk menelusuri konsep ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an, yakni terma ulul al-albab, yang dalam konteks ini dapat diartikan sebagai perpaduan antara pikir-rasio (al-aql) dan dzikir rasa (al-dzawq:intuisi) disisilain Al-Qur’an tidak memerintahkan manusia untuk menggunkana akalnya dalam menangkap rahasia yang terkandung dalam alam semesta, melainkan juga memaksimalkan dan memfungsikan secara bersama potensi yang dianugrahkan Tuhan kepadanya, yakni penglihatana (al-bashar), pendengaran (al-sam’) dan rasa atau intuisi (al-fuad), bahkan harus mempertanggungjawabkannya sebagaimana difirmankan: “Dan Allah telah menjadikan kamu lahir dari perut ibumu sedangkan kamu tidak mengetahui sesuatu dan menjadikan untuk mu pendengaran, penglihatan dan perasaan agar kamu bersyukur” (QS. Al-Nahl, 16:78); “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mengetahuinya karena sungguh pendengaran, penglihatan dan perasaan itu diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra’, 17:36) .
Metode untuk mencapai ilmu pengetahuan menurut perspektif Al-Qur’an, secara garis besar adapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Empirisme (indra dan rasio)
Yang dimaksud dalam konteks ini adalah empirisme-rasional yang menekankan pentingnya memaksimalkan indar dan rasio sebagai media untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an dalam berbagai ayatnya senantiasa mengajak dan memerintahkan manusia agar mengadakan observasi (pengamatan) dan penglihatan terhadap segala fenomena alam semesta sebagai ciptaan-Nya. Dalam konteks ini Al-Qur’an menggunakan beberapa term. Pertama, al-nazar, yang berarti mengamati dan meneliti. Sedangkan media untuk melakukan pengamatan dan penelitian adalah akal atau rasio (al-aql), misalnya dalam ayat: “Tidaklah mereka tidak memperhatikan (mengamati dan meneliti) bagaimana unta-unta itu diciptakan dan langit-langit itu bagaimana ditinggikan?, Gunung-gunung bagaimana ditegakkan, dan bumi bagaimana dihamparkan?” (QS. Al-Ghasiyah, 88:17-20), dan juga ayat: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah dan mungkin telah dekatnya kebianasaan mereka? Maka berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah diturunkannya Al-Qur’an” (QS. Al-A’araf, 7:185), kedua terma ayat ini menggunakan al-nazar (penelitian). Dan diayat lain juga menggunakan terma al-bashar (penglihatan), misalnya pada ayat: “Dan dibumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka yang meyakininya dan dalam diri kamu juga apakah kamu tidak melihatnya” (QS. Al-Dhariyat, 51:20-21). Kedua, berpikir (al-tafakkur, al-tadabbur, dan al-aql) yang dalam konteks ini berarti merenungkan ciptaan Allah, misalnya dalam ayat ulul al-albab sebagai berikut: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dala keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) “Ya Tuhan kami, tidakkah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS. Ali-Imron, 3:191). Terma al-tadabbur, digunakan dalam konteks memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terkandung dalam kitab suci-Nya Al-Qur’an. Misalnya dalam ayat: “Apakah mereka tidak merenugkan Al-Qur’an, dan kalaupun ditirunkan oleh selain Allah, mereka sunggunh mendapatkan didalamnya banyak pertentangan” (QS. Al-Nisa’, 4:82); dan ayat: “Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an, ataukah hati mereka telah tertutup?” (QS. Muhammad, 47:24). Sedangkan term al-aql banyak digunakan dalam bentuk mempertanyakan manusia kareka tidak memaksimalkan potensi pikiranya dengan ungkapan: “afala ta’qilun?”, dan dalam bentuk anjuran memaksimalkan daya pikir, misalmya dalam ayat: “Begitu juga Allah menjelaskan kepada kamu tanda-tanda (kekuasan-Nya), mudah-mudahan kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah, 2:242).
2. Intuisi (Rasa, Ilham dan Wahyu)
Intuisi dalam Al-Qur’an juga menempati posisis yang penting setelah akal (rasio dan indra). Kalau indra dan akal didominasi terma besar (pengamatan) dan nazar (penelitian) untuk menangkap rahasia alam fisik, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: “Dan Allah telah menjadikan kamu lahir dari perut ibumu sedangkan kamu tidak mengetahui sesuatu dan menjadikan untuk mu pendengaran, penglihatan dan perasaan agar kamu bersyukur” (QS. Al-Nahl, 16:78), maka intuisi digunakan olth Al-Qur’an untuk merasakan fenomena alam non fisik (metafisika), yang dalam hal ini Al-Qur’an menggunakan terma al-fuad (nurani) dan diungkapkan dengan kata kerja yash’ur (merasakan). Misalnya dalam firman Allah: “Janganlah kamu mengatakan bahwa orang yang mati dijalan Allah meninggal, melainkan mereka hidup, tetapi kamu tidak merasakannya” (QS. Al-Baqarah, 2:154). Dalam tema yang lain Allah juga menggunakan terma al-qolb (hati) dan diungkapkan dengan kata yafqoh yang lebih bermakna melihat dalam hati, misalnya dalan firman-Nya: “Dan Kami telah menciptakan neraka jahannam untuk jin dan manusia kebanyakan;(mereka itu) mempunyai hati yang tidak (digunakan) memahami (kebenaran) dan mempunyai mata yang tidak digunakan melihat dan mempunyai telinga yang tidak digunakan untuk mendengar; mereka itu seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’araf, 7:179).
Sedangkan wahyu secara etimologis berarti isyarat atau pemberitahuan secara sembunyi. Adapun menurut istilah, merupakan petunjuk dari Allah kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya. Dan Al-Qur’an sendiri memberi gambaran bagaimana Allah memberitahukan para Nabi-Nya mengenai apa yang dikehendaki-Nya, seperti dalam ayat: “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya, apa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Syura’, 42:51). Dengan demikian, wahyu merupakan petunjuk langsung yang diberikan oleh Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dalam konteks kajian ini wahyu dipandang sebagai pembenaran dari apa yang dihasilkan olah filsafat dan ilmu pengetahuan, sekaligus sebagai inspirasi bagi para ilmuan dan filosof, tatkala menyentuk persoalan-persoalan metafisika.
Adapun ilham secara etimologi berasal dari kata lahima berarti menelan atau meneguk. Kemudian terbentuk kata ilham berarti membrikan suatu ketetapan dan ketenangan dalam hati dan biasanya diberika oleh Allah kepada siapa yang dikehendakinya. Dapat pula berarti apa-apa yang disampaikan didalam hati berupa ide atau makna. Didalam Al-Qur’an kata dasar ilham disebutkan sekali saja, yaitu dalam ayat: “Maka Allah telah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan” (QS. Al-Syams, 91:8).
Dalam konteks studi ini terminology ilham lebih sesuai dengan arti intuisi yang dalam perspektif iluminasi dikenal dengan kashaf dan mushahadah yakni keadaan ekstase total dimana seorang sufi iluminasionis mendapatka iluminasi cahaya dari tuhan sebagai cahaya segala cahaya (nur al-anwar) tentang hakikat dan realitas alam semesta.

3. Aksiologi: Tujuan Penciptaan dan Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran
Aksiologi mempertanyakan. Bagaimana dan untuk apa ilmu pengetahuan dan teknologi dihasilkan. Dari sini, pembahasan akan mengungkap paradigma atau model “bagaimana seharusnya (das sollen)” ilmu pengetahuan digunakan jika dikaitkan dengan nilai-nilai yang bersifat etis, atau dalam konteks ini menggunakan sudut pandang nilai-nilai Islam. Diharapkan, langkah ini bisa melahirkan sebuah temuan atau tawaran baru dalam hal referensi atau preferensi moral selama pengkajian dan penggunaan sains di era modern.
a. Ilmu Pengetahuan: Sarana Mengetahui Yang Haq, Menambah keimanan dan Taqarrau Illallah
Dalam perspektif Al-Qur’an, pemahaman terhadap alam ini tidak akan bermakna kecuali jika ia membantu kita memahami Sang Pencipta dan dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab inilah tujuan utama dan terutama dari memahami alam semesta. Menurut Al-Qur’an alam semesta ini merupakan suatu tanda-tanda (ayat) yang berfungsi sebagai sarana untuk dapat meraih pengetahuan tentang Tuhan.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS. Ali-Imron, 3:190) .
.
b. Menjadi Landasan Etika Pengembangan Sains
Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai kendali moral bagi pengembangan sains. Al-Qur’an bisa memenuhi kebutuhan yang semakin mendesak bagi orang-orang modern baik di barat maupun di timur terhadap bangunan metafisika yang kokoh, tempat berlindung orang-orang beriman dan menjunjung tinggi spiritualitas.
Ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia haruslah bertujuan:
1) Untuk mencapai kebenaran objektif sesuai dengan kerangka dasar keilmuan, yang didalam Al-Qur’an diungkapkan dengan terma faatba’a sababa (untuk mengungkapkan hukum sebab akibat), yang kemudian dikenal dengan hukum kausalitas alam, yang oleh Al-Qur’an digambarkan tidak akan mengalami pergantian dan perubahan, sebagaimana difirmankan: “Maka kamu tidak akan mendapati pergantian dalan hukum Allah” (QS. Fatir, 35:43).
2) Untuk tujuan kesejahteraan manusia, yang oleh Al-Qur’an digunakan terma wa sakhkhara lakum (kami tundukkan untuk kamu), bahkan lebih dari itu untuk memakmurkan dunia sebagai khalifah.
3) Bahwa ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia, dalam pandangan Al-Qur’an untuk diamalkan sebagai hamba Allah, sebagaimana yang difirmankan: “Kamu berkata apa yang tidak kamu kerjakan adalah besar dosanya bagi Allah” (QS. Al-Saff, 16:3).


BAB III
PENUTUP

1. Memahami alam semesta dengan perspektif Al-Quran dapat menjadi alternatif untuk mengatasi problematika sains moden. Sains modern (Barat) memahami realitas semata-mata hanya dalam perspektif positvis (materialis), kebenaran ditentukan secara teknologis. Cara pandang positvis-empiris tentunya tak bisa kita dijadikan satu-satunya sumber kebenaran. Dalam konteks inilah ilmu pengetahuan mesti mengacu pada nilai-nilai etis-teologis yang berparadigma qurani sebagai tujuan utamanya
2. Metode, sumber, dan tujuan ilmu dalam dalam Islam berbeda dengan Barat yang melegitimasi apa yang disebut dengan metode ilmiah (saintifik) dan menolak wahyu sebagai sumber dan cara mendapatkan ilmu serta menafikan Tuhan sebagai asal-usul dan sumber ilmu. Pada akhirnya dengan memadukan Islam sebagai dimensi spiritual dengan sains yang pada umumnya berparadigma matrialistik, akan dihasilkan bangunan ilmua pengetahuan yang seimbang atau equilibirium. Dengan demikian, pilar ontologis, epistemologis dan aksiologis dalam sains modern akan memiliki keterkaitan nilai-nilai qurani.













DAFTAR PUSTAKA

Nor Ichwan, Mohammad, Tafsir Ilmi: Memahami al-Quran dengan Pendekatan Sains, Jogjarta: Menara Kudus Jogja, 2004.

Zubaidi, Islam Benturan dan Antarperadaban, Jogjarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Al-Attas, Naquib. Islam dan Skularisme, Terjemah Karsidjo, Bandung: Pustaka, 1981.
http://anti-islamlib.com/2009/10/ilmu-pengetahuan-dalam-perspektif-islam (diakses pada tanggal 03-04-2010)

Siswomihardjo, Koento W. Filsafat Ilmu, Sejaran Kelahiran dan Perkembangannya, Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 2003

Tobroni, Dialektika Agama dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pelita, 1994

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.

Mubarak, Sofi. Otoritas Wahyu Dan Ilmu Pengetahuan, http://mubayok.blogspot.com/2007/08/ (diakses pada tanggal 03-04-2010)

O.Kattsof, Louis. Pengantar filsafat, alih bahasa Soeyono Suemargono. Yogyakarta:Tiara Wacana, 1992.

Masruri, M. Hadi dan Rossidy, Imron. Filsafat Sains dalam Al-Quran, Malang: UIN-Malang Press, 2007.

Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Hlm: 250.