Senin, 25 Oktober 2010

kritik terhadap sains modern dalam filsafat sains perspektif Al-Quran

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Rasa keingin tahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam asusmsi awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci, dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan.
Seiring dengan berkembangnya kehidupan manusia, ilmu pengetahuan hampir mencapai puncaknya, termasuk perkembangan teknologi berjalan begitu cepat. Namun, akar dari pengetahuan yang tidak sejalan dengan iman akan selalu berjalan bebas tanpa nilai dan tujuan. Materi menjadi tujuan semu, surga baru, dan bahkan tuhan baru. Gaya dan trend menjadi ukuran kemajuan, lalu identitas diri menghilang ditelan dunia modern. Sebuah kerusakan moral yang sangat kronis, menjadi nilai akhir dari epistemologi yang salah. Paham rasionalisme dan empirisme sangat mengakar di alam ilmu pengetahuan modern. Mereka memandang bahwa sumber utama dan penguji akhir ilmu pengetahuan adalah akal atau rasio (rasionalis) dan indera atau pengalaman (empiris).
Pengembangan ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain. Pemuasan dahaga manusia terhadap rasa keingintahuannya seolah tak berujung dan menjebak manusia ke lembah kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Karena kenetralan ilmu pengetahuan atau sains hanyalah sebatas metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya diperlukan adanya nilai-nilai moral.
Meski membawa kemajuan yang menakjubkan, pemikiran dan sains modern (barat) ternyata juga mengandung dampak negatif yang besar. Karena diadopsi dari berbagai sumber yang beragam dan saling bertentangan serta tidak didasarkan atas ajaran wahyu, pengetahuan Barat akhirnya melahirkan ketegangan batin dan menjauhkan manusia dari Tuhan, bahkan menjauhkan dari nilai-nilai kemanusiaannya sendiri. Model pengetahuan seperti itu samasekali tidak bisa digunakan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan, apalagi problem masyarakat muslim. Oleh karena itu perlu kiranya untuk membangun ilmu pengetahuan yang berasaskan nilai-nilai keislaman dan berpedoman kepada Al-Qur’an. Sehingga, Al-Quran dan Sains telah menjadi penggerak utama manusia untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Adapun pemberdayaan Iptek menurut Islam adalah bagaimana mewujudkan kemakmuran bagi umat manusia. Karena itu pemanfaatan Iptek tidak boleh dipisahkan dari agama. Bahkan harus sejalan dengan moralitas dan etika Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah landasan filosofis sains modern?
2. Bagaimanakah kritik terhadap sains modern dalam filsafat sains perspektif Al-Quran?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimanakah landasan filosofis sains modern.
2. Bagaimanakah kritik terhadap sains modern dalam filsafat sains perspektif Al-Quran.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Filosofis Sains Modern
Pada milanium ke-3 perkembangan ilmu pengetahuan (sains) dihampir semua bidang kajian berlangsung secara mengesankan. Namun, kemajuan diberbagai bidang sains ini mayoritas mesih dipelopori oleh para ilmuan dan cendekiawan Barat dan karenanya menjadikan sains dalam kerangka filosofis pemikiran mereka yang sekuler, pragmatis, positvistik dan materialistik. Paradigma pemikiran ini pada gilirannya akan mempengaruhi konsep interpretasi, makna-makna dan idiom-idiom ilmu pengetahuan. Filsafat sekuler tidak hanya kontradiktif dengan fitrah manusia bahkan juga dapat menyebabkan ilmu pengetahuan tercabut dari akar-akar dan tujuan utama kelahirannya. Oleh karena itu konsepsi ilmu pengetahuan barat yang berlandaskan filsafat positivistik tersebut telah menimbulkan beberapa masalah mulai dari krisis moral, spiritual hingga krisis lingkungan.
Kekeliruan paling mendasar dari sains modern dapat dipandang dari aspek ontologi, terkait tentang yang ada (being) sebagai objek kajian dalam sains. Dalam konteks ini sains modern hanya membatasi diri pada obyek-obyek empiris, fisik, materi dan eksternal. Dengan kata lain sains modern hanya akan berurusan dengan obyek-obyek yang teramati oleh indra. Hal-hal abstrak yang diluar jangkauan panca indra dan pengalaman manusia dianggap bukan urusan sains, dengan demikian, berdasarkan perspektif positvisme tersebut sifat utama sains modern adalah berorientasi pada fenomena empiris. Sedangakan hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, meskipun sebenarnya ada seperti Tuhan, ruh/jiwa, malaikan dan seterusnya dikeluarkan dari wilayah kajian sains.
Dalam aspek epistemologi, yaitu bagaimana seorang dapat memperoleh pengetahuan yang benar. Secara epistemologis, sains Barat barat hanya membenarkan pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method), dengan melibatkan proses verifikasi dan pengukuran secara sistematis, verbal dan empirisnya. Mereka memandang metode ilmiah dalam pengertiannya yang positvistik, sebagai satu-satunya jalan untuk mengetahui atau memperoleh ilmu pengetahuan. Berdasarkan anggapan itu, sains modern dengan demikian menolak secara tegas metode-metode lain sebagai cara yang absah untuk memperoleh ilmu pengetahuan sedangkan Islam merekomendasikan penggunaan berbagai cara untuk mencapai ilmu pengetahuan seperti observasi, eksperimen, intuisis, dan pemikiran rasional. Sumber sains modern yang berlandaskan positvisme dan materialisme hannya terpaku pada fenomena alam atau realitas empiris dan menolak wahyu sebagai sumber pengatahuan. Sedangkan dalam Islam disamping fenomena alam, wahyu (Al-Qur’an dan hadits) juga merupakan sumber ilmu.
Nilai-nilai wahyu akan membawa ilmu pengetahuan ke jalan kebenaran sejati. Ia harus dijadikan pijakan dan begitu juga sebagai penguji akhir ilmu pengetahuan. Menguji apakah ilmu pengetahuan tersebut sesuai dengan nilai-nilai wahyu atau tidak. Misalnya teori evolusi darwin tentang asal usul manusia, ketika terjadi kontradiksi dengan wahyu yang mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai manusia tanpa proses evolutif, kita harus bersikap tegas kepada sesuatu yang jelas bertentangan dengan nash al Qur'an. Inilah sejatinya epistemologi Islam yang harus dibangun, mewujudkan ilmu pengetahuan yang bernilai bagi kemajuan dan moral umat manusia.
Kesalahan dan kerancuan yang lebih mendasar dari filsafat positvistik dapat ditinjau dari sudut pandang akseologi, aksiologi yaitu ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai secara umum dengan menggunakan sudut pandang kefilsafatan. Dengan kajian aksiologi ini kita akan dihadapkan pada pilihan moral tatkala mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Para ilmuan ketika dihadapkan pada pilihan moral pada saat menerapkan teknologi terbelah menjadi dua kelompok.
1. Mereka yang berpandangan bahwa sains bernilai objektif dan merupakan upaya yang bebas nilai, yakni bersifat netral terhadap agama dan ideology. Mereka meinginginkan ilmu harus netral terhadap nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Tugas ilmuan hanya menemukan pengetahuan, sedangkan penerapannya terserah kepada pemakai.
2. Golongan yang berpendirian netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik kelimuan, sedangkan pada tingkat penggunaan atau bahkan pada tingkat pemilihan objek, penelitian harus disandarkan pada asas-asas moral.
Sains tanpa nilai-nilai moral benar-benar akan membawa kejurang kehancuran yang massif. Sedangkan tujuan sains menurut pandangan Islam, disamping untuk memperoleh manfaat hidup di dunia juga untuk memenuhi kebutuhan ruhani, moral dan spiritual demi kebahagiaan di akhirat yang merupakan tujuan utama dalam menjalani kehidupan.

B. Kritik Terhadap Sains Modern Dalam Filsafat Sains Perspektif Al-Quran
1. Ontologi: Pandangan Al-Qur’an Terhadap Alam Semesta
Ontologi merupakan salah satu objek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang realiatas yang ada (being), baik merupaka wujud fisik (al-tobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-tobi’ah). Upaya penelaahan dan pemahaman terhadap hakikat alam semesta dan yang terkait didalamnya muncul sejak zaman Yunani kuno. Thales (631-550 SM), bapak filsafat Yunani, misalnya, telah maneliti asal muasal kejadian alam semesta dan berkesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari air. Sepuluh abad berikutnya Al-Qur’an memberikan informasi dan menegaskan, bahwa segala sesuatu diciptakan dari air: “Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air” (QS. Al-Anbiya’, 21:30). Kemudian diteruskan oleh filosof-filosof sesudahnya, Anaximandros (610-546 SM), Anaximenes (585-528 SM), dan Heraklitus (540-475 SM), yang akhirnya dikenal dengan filosof Ionian school (al-Madrasah al-iyuniyyah). Ditangan merelakah ditemukan empat elemen bumi yaitu air, api, udara dan tanah. Atas dasar itulah realitas al-maujud dalam perspektif Islam juga meliputi fisika dan metafisika. Hanya, dalam diskursus filsafat Islam lebih banyak menyentuh masalah metafisika, terutama bagian ketuhanan dan hubungannya dengan penciptaan alam semesta, sehingga filsafat dalam Islam disebut juga sebagai filsafat ketuhanan (Illahiyah) atau filsafat pertama, karena menyentuh pembahasan tentang Allah sebagai sebab pertama (causa prima). Adapun wilayah fisika terkait dengan ilmu-ilmu kealaman, seperti kedokteran, ilmu alam, eksakta, astronomi, dan lain-lain, yang dimasa klasik Islam juga menjadi keahlian para filosof Islam.
Lebih dari itu Al-Qur’an memandang alam semesta sebagai ciptaan Tuhan dengan menggunakan kata dasar al-Khalq. Istilah ciptaan, yang berarti makhluk dan terulang sebanyak 57 kali dalam Al-Qur’an ini adalah kata serupa yang digunakan untuk mengungkapkan prilaku penciptaan itu sendiri, yakni khalaqa, yang menunjukkan proses kejadian alam semesta yang tunduk kepada hukum-hukum kausalitas, yang tidak tunduk kepada perubahan dan pergantian (tahlil: tabdil), sebagaimana yang dinyataka oleh Al-Qur’an: “Dan kamu tidak akan menemukan sesuatu perubahan dalam ciptaan Allah” (QS. Fathir, 35:43) .
Sebagian besar literatur yang berhubungan antara agama (baca: Islam) dengan ilmu pegetahuan menekankan:
1. Agama dimulai dengan keyakinan dan atau kekaguman, sementara ilmu pengetahuan dimulai dengan keraguan.
2. Kebenaran ilmu bersifat relatif dan positif sementara kebenaran agama bersifat absolut atau mutlak.
3. Kebenaran ilmu dirai dengan eksperimental, sementara kebenaran agama dari Allah SWT.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (antara lain, QS 16:78). Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak dapat kamu melihat mereka (QS 7:27) .

2. Epistemologi: Konsep Al-Qur’an tentang Pengetahuan
Sains modern pada umumnya diyakini dapat membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia dimanapun berada tanpa memandang ras, agama, kepercayaan maupun batas teritorial, semua orang akan bersentuhan dengan sains. Umat Islam sebagai bagian dari umat manusia juga turut terlibat, berapresiasi, dan menikmati buah dari kemajuan sains.
Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, idealisme atau lebih populer dengan istilah rasionalisme, yaitu sebuah aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal, idea, category, dan form sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pada aliran ini peran panca indra dinomorduakan. Sedangkan aliran kedua adalah realisme atau empirisme yang lebih menekankan peran indra dan realitas sebagai sumber pengetahuan, sehingga peran akal dinomorduakan.
Epistemologi barat mengagungkan skeptisisme dan meragukan segala sesuatu tersebut menurut Naquaib, menyebabkan ketegangan batin yang pada gilirannya membangkitkan keinginan takpernah terpuaskan untuk mencari dan memulai suatu perjalanan untuk mencapai penemuan demi penemuan. Pencarian ini tidak pernah terpuaskan karena keraguan senantiasa selalu menguasai sehingga apa yang dicari tidak pernah ditemuakan dan apa yang ditemuai tidak pernah memuaskan. Artinya, epistimologi skeptisisme yang diangungkan barat, sesungguhny, tidak bisa mengantarkan kepada kebenaran dan kenyataannya tidak ada bukti bahwa keraguan bisa mengantarkan kepada kebenaran, sebaliknya ia justru menyebabkan kebenaran tertutup dalam perdebatan dan percekcokan tanpa akhir.
Dalam pandangan Naquaib, kebenaran hanya bisa dicapai oleh hidayah, bukan keraguan. Keraguan adalah pergerakan anatara dua hal yang saling bertentangan tanpa ada kecenderungan dengan salah satunya. Penolakan hati terhadap yang lain ini bukan merupakan tanda keraguan terhadap kebenarannya, namun merupakan pengenalan posistif terhadapa kesalahan atau kepalsuannya. Keraguan, baik bersifat pasti atau sementara membawa kepada dugaan atau kepada posisi ketidak pastian yang lain dan tidak pernah pada kebenaran. Yang ditolak adalah sekeptisisme keilmuan barat yang sampai mengorbankan atau mengabaikan nilai-nilai sosial dan kultural.
Al-Qur’an memberi perhatian yang cukup besar terhadap ilmu (al-ilmu) dan pengetahuan (al-ma’rifah) yang secara makro dipandang sebagai kalimat Tuhan sebagaimana difirmankan: “katakanlah seandainya lautan dijadikan tinta (untuk menulis) kalimat Tuhanku, sesungguhnya lautan itu akan habis sebelum kalimat Tuhanku habis, meskipun kami datangkan lautan yang serupa lagi” (QS. Al-Kahfi, 18:108). Bahka ditempat lain Al-Qur’an menempetkan orang-orang yang berilmu dalam kedudukan yang tinggi. Seperti ayat: “Pasti Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah, 58:11); “Katakanlah! “apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang-orang yang berakal-lah yang senantiasa mengingat” (QS. Al-Zumar, 39:9) .
Dari penjelasan beberapa ayat Al-Aqur’an diatas, dapatlah ditarik sebuah kata kunci untuk menelusuri konsep ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an, yakni terma ulul al-albab, yang dalam konteks ini dapat diartikan sebagai perpaduan antara pikir-rasio (al-aql) dan dzikir rasa (al-dzawq:intuisi) disisilain Al-Qur’an tidak memerintahkan manusia untuk menggunkana akalnya dalam menangkap rahasia yang terkandung dalam alam semesta, melainkan juga memaksimalkan dan memfungsikan secara bersama potensi yang dianugrahkan Tuhan kepadanya, yakni penglihatana (al-bashar), pendengaran (al-sam’) dan rasa atau intuisi (al-fuad), bahkan harus mempertanggungjawabkannya sebagaimana difirmankan: “Dan Allah telah menjadikan kamu lahir dari perut ibumu sedangkan kamu tidak mengetahui sesuatu dan menjadikan untuk mu pendengaran, penglihatan dan perasaan agar kamu bersyukur” (QS. Al-Nahl, 16:78); “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mengetahuinya karena sungguh pendengaran, penglihatan dan perasaan itu diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra’, 17:36) .
Metode untuk mencapai ilmu pengetahuan menurut perspektif Al-Qur’an, secara garis besar adapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Empirisme (indra dan rasio)
Yang dimaksud dalam konteks ini adalah empirisme-rasional yang menekankan pentingnya memaksimalkan indar dan rasio sebagai media untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an dalam berbagai ayatnya senantiasa mengajak dan memerintahkan manusia agar mengadakan observasi (pengamatan) dan penglihatan terhadap segala fenomena alam semesta sebagai ciptaan-Nya. Dalam konteks ini Al-Qur’an menggunakan beberapa term. Pertama, al-nazar, yang berarti mengamati dan meneliti. Sedangkan media untuk melakukan pengamatan dan penelitian adalah akal atau rasio (al-aql), misalnya dalam ayat: “Tidaklah mereka tidak memperhatikan (mengamati dan meneliti) bagaimana unta-unta itu diciptakan dan langit-langit itu bagaimana ditinggikan?, Gunung-gunung bagaimana ditegakkan, dan bumi bagaimana dihamparkan?” (QS. Al-Ghasiyah, 88:17-20), dan juga ayat: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah dan mungkin telah dekatnya kebianasaan mereka? Maka berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah diturunkannya Al-Qur’an” (QS. Al-A’araf, 7:185), kedua terma ayat ini menggunakan al-nazar (penelitian). Dan diayat lain juga menggunakan terma al-bashar (penglihatan), misalnya pada ayat: “Dan dibumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka yang meyakininya dan dalam diri kamu juga apakah kamu tidak melihatnya” (QS. Al-Dhariyat, 51:20-21). Kedua, berpikir (al-tafakkur, al-tadabbur, dan al-aql) yang dalam konteks ini berarti merenungkan ciptaan Allah, misalnya dalam ayat ulul al-albab sebagai berikut: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dala keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) “Ya Tuhan kami, tidakkah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS. Ali-Imron, 3:191). Terma al-tadabbur, digunakan dalam konteks memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terkandung dalam kitab suci-Nya Al-Qur’an. Misalnya dalam ayat: “Apakah mereka tidak merenugkan Al-Qur’an, dan kalaupun ditirunkan oleh selain Allah, mereka sunggunh mendapatkan didalamnya banyak pertentangan” (QS. Al-Nisa’, 4:82); dan ayat: “Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an, ataukah hati mereka telah tertutup?” (QS. Muhammad, 47:24). Sedangkan term al-aql banyak digunakan dalam bentuk mempertanyakan manusia kareka tidak memaksimalkan potensi pikiranya dengan ungkapan: “afala ta’qilun?”, dan dalam bentuk anjuran memaksimalkan daya pikir, misalmya dalam ayat: “Begitu juga Allah menjelaskan kepada kamu tanda-tanda (kekuasan-Nya), mudah-mudahan kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah, 2:242).
2. Intuisi (Rasa, Ilham dan Wahyu)
Intuisi dalam Al-Qur’an juga menempati posisis yang penting setelah akal (rasio dan indra). Kalau indra dan akal didominasi terma besar (pengamatan) dan nazar (penelitian) untuk menangkap rahasia alam fisik, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: “Dan Allah telah menjadikan kamu lahir dari perut ibumu sedangkan kamu tidak mengetahui sesuatu dan menjadikan untuk mu pendengaran, penglihatan dan perasaan agar kamu bersyukur” (QS. Al-Nahl, 16:78), maka intuisi digunakan olth Al-Qur’an untuk merasakan fenomena alam non fisik (metafisika), yang dalam hal ini Al-Qur’an menggunakan terma al-fuad (nurani) dan diungkapkan dengan kata kerja yash’ur (merasakan). Misalnya dalam firman Allah: “Janganlah kamu mengatakan bahwa orang yang mati dijalan Allah meninggal, melainkan mereka hidup, tetapi kamu tidak merasakannya” (QS. Al-Baqarah, 2:154). Dalam tema yang lain Allah juga menggunakan terma al-qolb (hati) dan diungkapkan dengan kata yafqoh yang lebih bermakna melihat dalam hati, misalnya dalan firman-Nya: “Dan Kami telah menciptakan neraka jahannam untuk jin dan manusia kebanyakan;(mereka itu) mempunyai hati yang tidak (digunakan) memahami (kebenaran) dan mempunyai mata yang tidak digunakan melihat dan mempunyai telinga yang tidak digunakan untuk mendengar; mereka itu seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’araf, 7:179).
Sedangkan wahyu secara etimologis berarti isyarat atau pemberitahuan secara sembunyi. Adapun menurut istilah, merupakan petunjuk dari Allah kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya. Dan Al-Qur’an sendiri memberi gambaran bagaimana Allah memberitahukan para Nabi-Nya mengenai apa yang dikehendaki-Nya, seperti dalam ayat: “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya, apa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Syura’, 42:51). Dengan demikian, wahyu merupakan petunjuk langsung yang diberikan oleh Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dalam konteks kajian ini wahyu dipandang sebagai pembenaran dari apa yang dihasilkan olah filsafat dan ilmu pengetahuan, sekaligus sebagai inspirasi bagi para ilmuan dan filosof, tatkala menyentuk persoalan-persoalan metafisika.
Adapun ilham secara etimologi berasal dari kata lahima berarti menelan atau meneguk. Kemudian terbentuk kata ilham berarti membrikan suatu ketetapan dan ketenangan dalam hati dan biasanya diberika oleh Allah kepada siapa yang dikehendakinya. Dapat pula berarti apa-apa yang disampaikan didalam hati berupa ide atau makna. Didalam Al-Qur’an kata dasar ilham disebutkan sekali saja, yaitu dalam ayat: “Maka Allah telah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan” (QS. Al-Syams, 91:8).
Dalam konteks studi ini terminology ilham lebih sesuai dengan arti intuisi yang dalam perspektif iluminasi dikenal dengan kashaf dan mushahadah yakni keadaan ekstase total dimana seorang sufi iluminasionis mendapatka iluminasi cahaya dari tuhan sebagai cahaya segala cahaya (nur al-anwar) tentang hakikat dan realitas alam semesta.

3. Aksiologi: Tujuan Penciptaan dan Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran
Aksiologi mempertanyakan. Bagaimana dan untuk apa ilmu pengetahuan dan teknologi dihasilkan. Dari sini, pembahasan akan mengungkap paradigma atau model “bagaimana seharusnya (das sollen)” ilmu pengetahuan digunakan jika dikaitkan dengan nilai-nilai yang bersifat etis, atau dalam konteks ini menggunakan sudut pandang nilai-nilai Islam. Diharapkan, langkah ini bisa melahirkan sebuah temuan atau tawaran baru dalam hal referensi atau preferensi moral selama pengkajian dan penggunaan sains di era modern.
a. Ilmu Pengetahuan: Sarana Mengetahui Yang Haq, Menambah keimanan dan Taqarrau Illallah
Dalam perspektif Al-Qur’an, pemahaman terhadap alam ini tidak akan bermakna kecuali jika ia membantu kita memahami Sang Pencipta dan dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab inilah tujuan utama dan terutama dari memahami alam semesta. Menurut Al-Qur’an alam semesta ini merupakan suatu tanda-tanda (ayat) yang berfungsi sebagai sarana untuk dapat meraih pengetahuan tentang Tuhan.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS. Ali-Imron, 3:190) .
.
b. Menjadi Landasan Etika Pengembangan Sains
Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai kendali moral bagi pengembangan sains. Al-Qur’an bisa memenuhi kebutuhan yang semakin mendesak bagi orang-orang modern baik di barat maupun di timur terhadap bangunan metafisika yang kokoh, tempat berlindung orang-orang beriman dan menjunjung tinggi spiritualitas.
Ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia haruslah bertujuan:
1) Untuk mencapai kebenaran objektif sesuai dengan kerangka dasar keilmuan, yang didalam Al-Qur’an diungkapkan dengan terma faatba’a sababa (untuk mengungkapkan hukum sebab akibat), yang kemudian dikenal dengan hukum kausalitas alam, yang oleh Al-Qur’an digambarkan tidak akan mengalami pergantian dan perubahan, sebagaimana difirmankan: “Maka kamu tidak akan mendapati pergantian dalan hukum Allah” (QS. Fatir, 35:43).
2) Untuk tujuan kesejahteraan manusia, yang oleh Al-Qur’an digunakan terma wa sakhkhara lakum (kami tundukkan untuk kamu), bahkan lebih dari itu untuk memakmurkan dunia sebagai khalifah.
3) Bahwa ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia, dalam pandangan Al-Qur’an untuk diamalkan sebagai hamba Allah, sebagaimana yang difirmankan: “Kamu berkata apa yang tidak kamu kerjakan adalah besar dosanya bagi Allah” (QS. Al-Saff, 16:3).


BAB III
PENUTUP

1. Memahami alam semesta dengan perspektif Al-Quran dapat menjadi alternatif untuk mengatasi problematika sains moden. Sains modern (Barat) memahami realitas semata-mata hanya dalam perspektif positvis (materialis), kebenaran ditentukan secara teknologis. Cara pandang positvis-empiris tentunya tak bisa kita dijadikan satu-satunya sumber kebenaran. Dalam konteks inilah ilmu pengetahuan mesti mengacu pada nilai-nilai etis-teologis yang berparadigma qurani sebagai tujuan utamanya
2. Metode, sumber, dan tujuan ilmu dalam dalam Islam berbeda dengan Barat yang melegitimasi apa yang disebut dengan metode ilmiah (saintifik) dan menolak wahyu sebagai sumber dan cara mendapatkan ilmu serta menafikan Tuhan sebagai asal-usul dan sumber ilmu. Pada akhirnya dengan memadukan Islam sebagai dimensi spiritual dengan sains yang pada umumnya berparadigma matrialistik, akan dihasilkan bangunan ilmua pengetahuan yang seimbang atau equilibirium. Dengan demikian, pilar ontologis, epistemologis dan aksiologis dalam sains modern akan memiliki keterkaitan nilai-nilai qurani.













DAFTAR PUSTAKA

Nor Ichwan, Mohammad, Tafsir Ilmi: Memahami al-Quran dengan Pendekatan Sains, Jogjarta: Menara Kudus Jogja, 2004.

Zubaidi, Islam Benturan dan Antarperadaban, Jogjarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Al-Attas, Naquib. Islam dan Skularisme, Terjemah Karsidjo, Bandung: Pustaka, 1981.
http://anti-islamlib.com/2009/10/ilmu-pengetahuan-dalam-perspektif-islam (diakses pada tanggal 03-04-2010)

Siswomihardjo, Koento W. Filsafat Ilmu, Sejaran Kelahiran dan Perkembangannya, Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 2003

Tobroni, Dialektika Agama dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pelita, 1994

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.

Mubarak, Sofi. Otoritas Wahyu Dan Ilmu Pengetahuan, http://mubayok.blogspot.com/2007/08/ (diakses pada tanggal 03-04-2010)

O.Kattsof, Louis. Pengantar filsafat, alih bahasa Soeyono Suemargono. Yogyakarta:Tiara Wacana, 1992.

Masruri, M. Hadi dan Rossidy, Imron. Filsafat Sains dalam Al-Quran, Malang: UIN-Malang Press, 2007.

Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Hlm: 250.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar